Rasa kangen saya terhadap kampong halaman sudah tak terbendung lagi. Ini sudah klimaks. Jangan sampai dia berakhir tanpa anti klimaks. Hal ini sungguh memaksa. Memaksa saya untuk bercerita tentang hal yang berada di tahun 2008, dua tahun silam.
Setelah kejadian itu – sebuah kejadian yang saya sengaja lupakan, saya pergi ke Samosir, pulau di atas pulau. Berada di tengah Danau terbesar di Asia Tenggara, Danau Toba. Di sana saya melakukan penelitian demi gengsi dan kebanggaan. Kebanggaan sebagai orang batak yang tidak bisa berbahasa Batak dan tidak tinggal di tanah Batak. Seharusnya saya malu. Tapi justru dari sanalah saya belajar asal-usul saya dan berusaha menyelami warisan nenek moyang.
Semua berawal di hari Senin 6 Oktober yang tak terlalu cerah. (Cerita diambil dari jurnal perjalanan saya ketika bertandang ke Samosir)
klik ini, untuk mengunduh Final Paper saya yang berjudul:
"The Dynamic of Culture in Batak Toba Culture in the Era of Globalization"
"Saya terbang ke Medan dan tiba dengan selamat di Pangkalan Udara Polonia. Tujuan saya kali ini bertandang ke kota kelahiran saya adalah demi mengumpulkan data untuk keperluan final paper saya yang mengangkat tema tentang 'Eksistensi Batak Toba di Era Globalisasi. Hal ini berkenaan dengan faktor perubahan budaya. Saya akan memfokuskan diri hanya pada 3 sub-faktor saja yakni difusi, asimilasi dan akulturasi.
Di tengah perjalanan darat dari Medan ke Samosir, saya sempat berhenti di Dairi, menunaikan ibadah, lantas sejenak meregangkan persendian. Di mesjid yang sederhana itu, saya sempat bercakap-cakap dengan nadzirnya. Dia ternyata orang rantau juga. Jauh-jauh dari Tapanuli, ikhlas hanya mendapat beberapa ribuan rupiah untuk menjaga Mesjid. Padahal orang di daerah itu jarang yang beragama islam.
"Kurang lebih ada 17 KK yang beragama Islam" katanya.
Ini bukan kali pertamanya saya ke Samosir. Sudah dua atau empat kali. Saya lupa juga. Tapi kali ini, saya memaknai perjalanan dengan berbeda. Saya mengambil jalur yang berbeda. Saya tidak lewat parapat dan langsung naik kapal feri menyebrang ke Pelabuhan Tomok. Saya mengambil rute lain, yang sebenarnya lebih jauh. Saya lewat jalan darat, melalui Berastagi lalu ke Penyeberangan Tele. Saya menyempatkan menghirup udara segar selama perjalanan sambil melihat para kuda liar berlarian pecicilan. Saya jadi ingat Si Mamoru, kuda poni-abu-abu-bentol-tak-jelas milik saya. Ah, rindu pula menungganginya.Ditambah para pejantan kambing dan kerbau yang sedang menikmati rerumputan segar di lereng bukit. Heran pula saya melihat mereka bisa mencari makan sampai ke lereng-lereng bukit yang begitu curam itu.
Selama di perjalanan, pemandangan sungguh maha dahsyat indahnya. Mata ini tak habis-habisnya disuguhi ciptaannya yang maha segalanya. Perbukitan dengan rumput hijau yang sangat rapi, seperti dipangkas setiap dua minggu sekali, serta pohon-pohon pinus yang tertata rapi di perbukitan. Walau sayang ada beberapa titik hutan lindung yang entah itu dibakar atau terbakar secara tidak sengaja. Padahal ini belum musim kemarau.
Air terjun di beberapa celah bukit pun memberikan aksen alami yang semakin memukau. Sempat pula saya melewati bendungan Air dari PLTA Renun, mungkin ini ada kaitannya dengan PLTA Si Gura-gura yang pernah saya datangi.
Saya sempat ke menara Tele, dimana saya bisa melihat hampir keseluruhan dataran pulau yang disebut-sebut asal-usul nenek moyang saya itu. Samosir itu bisa dikatakan lebih luas ketimbang Singapur. Tapi kalah canggih dengan negara singa itu. Tapi untungnya kami tidak menimbun pasir.
Di sana saya sempat bertemu dengan Pak Nurdin Nadeak dan Pak Simbolon. Mereka memberikan saya pengetahuan dasar tentang asal usul-suku Batak. Jika diurutkan secara silsilah, mereka adalah bapak uda saya. Begitulah orang batak, semua bisa jadi saudara kalau bermarga. Saya ingat betul, kedua bapak uda saya itu dengan tulus memegang kepala saya. Mereka benar-benar menganggap saya sebagai anak mereka.
Perjalanan dilanjutkan melalu tano ponggol, ini adalah jarak terdekat samosir dengan Pulau Sumatera yang diibaratkan sebagai induknya. Jalanan hanya dihubungkan dengan jem
batan yang kurang lebih 5 km panjangnya. Ternyata jembatan antara pulau sumatra dengan samosir tidak sepanjang yang dibayangkan. Penonton kecewa. Namun untuk Jarak terjauhnya adalah 33 000 Km. WOW!
Setibanya saya di Kabupaten Pangururan – wilayah administrasi di Pulau Samosir ini, saya bertemu dengan Bapak Melani Butar-butar, Kep. Dinas Pariwisata seni dan Budaya. Ka
mi bertukar pikiran dan beliau banyak memberikan saya pengetahuan baru tentang tanah batak, terutama pariwisata di Samosir. Secara keseluruhan hampir semua daftar pertanyaan saya telah dijawab olehnya dengan sangat amat baik. Terima kasih bapak uda-ku!"
Baru hari pertama, cerita pun sudah disingkat sedemikian rupa. Masih saja kepanjangan. Edi
tor, tolong diedit lagi. Ceita berlanjut di hari kedua.
No comments:
Post a Comment