April 30, 2012

Toleransi Sejak Dini!


Haruskah aku memusuhi mereka yang bukan Islam dan sampai hatikah Tuhan memasukkan mereka ke dalam neraka?

Pertanyaan di atas adalah salah satu dari sub judul dalam buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Membaca judul ini rasanya miris. Selama 20 tahun saya hidup di dunia ini saya berteman dengan berbagai macam latar belakang. Tidak pernah sekali pun kata musuh keluar dari mulut saya karena perbedaan itu.

Sejak SD hingga SMA saya mengenal perbedaan, namun tak pernah mempermasalahkannya. Sekolah saya memang menjunjung tinggi pluralisme, mungkin karena itu terdapat tujuh agama, saudara-saudara! Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, Kong Hu Chu dan Saksi Jehova. Dan semua agama tersebut difasilitasi dengan baik oleh pihak sekolah. 

Di satu lantai kami berbagi ruangan belajar dan ibadah. Ketika kami yang muslim sholat, mereka non-Islam pergi ke ruangan masing-masing untuk melakukan ibadah mereka, bersama guru atau para petinggi agama masing-masing. Ketika mata pelajaran agama, karena sistem di sekolah saya moving class, maka kami masuk ke ruangan agama masing-masing. Dan ketika mata pelajaran campuran, kami kembali membaur dan meninggalkan segala perbedaan itu. 

Sekolah juga pernah mengadakan acara Religion's Day sebagai pengenalan agama-agama bagi siswa. Tidak mendasar, hanya seperti apa yang dirayakan, sejarah dan cara beribadah oleh umat beragama lainnya. Saya juga pernah mengikuti kegiatan community service atau semacam bakti sosial. Kami para murid dibebaskan memilih tempatnya. Saya dan empat orang teman saya memilih sebuah gereja yang memiliki pelayanan kesehatan untuk masyarakat yang kurang mampu. Kami di sana membantu tanpa mempermasalah perbedaan itu.

Tak hanya berbeda agama dan latarbelakang, sekolah saya juga menerima para murid 'istimewa', yaitu siswa dengan kebutuhan khusus, yang ditempatkan di kelas yang sama dengan saya. Menjijikan? Tidak. Bahkan saya pernah menjadi Observer mereka. Menulis apa saja yang mereka lakukan selama di Kelas dan melaporkannya pada guru. Mereka kadang lucu, kadang juga menjengkelkan. Sama sajalah dengan anak-anak pada umumnya. 


Apa yang Tak Mungkin?


Bagi kita
theist dan atheist bisa berkumpul
muslim dan kristiani bisa bercanda
artist dan atlit bisa bergurau
kafir dan muttaqien bisa bermesraan
... 
Ahmad Wahib dalam Sepotong Bait Puisi Perpisahan
(14 Agustus 1969)

Perbedaan berkumpul menjadi satu, 
dengan tetap mempertahankan perbedaannya. 
Apakah itu mungkin?

Toh, di mata Tuhan kita tetap sama. 

Manusia.

Apa yang tak mungkin?

Mengenal Wahib, Mengenal Islam dengan Kritis



Saya terus mengangguk-angguk tanda setuju. Buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib ini seperti mewakili apa yang selama ini menjadi kegundahan banyak orang, termasuk saya, tapi tidak berani diutarakan. Takut dianggap menyimpang, tabu atau bahkan lebih ekstrimnya ateis. 

Islam di negeri bernama Indonesia ini terpuruk. Ini hanya pendapat saya. Mungkin pernyataan itu bisa untuk renungan kita bersama. Apa yang sebenarnya salah. 

Saya sedih. Bukan Islam yang salah, saya tahu itu. Salah satu penyebabnya adalah masih banyak umatnya yang terjebak di masa lalu dan mereka tidak mau keluar dari sana. Apakah kalian semua menyadari itu?