February 22, 2015

Gengsi Bilang Cinta

Jam dinding menunjukkan pukul 01:20 dini hari. Pintu kamarnya masih terbuka. Kulihat ia sudah duduk di peraduannya, tapi tangannya masih tak mau diam. Masih saja berkutat dengan benang-benang pengusir sepi. 
 
Tak ingin mengganggunya, kuputuskan kembali turun ke kamarku. Namun, berbagai macam pikiran menghantui otakku. Baru tiga anak tangga, langkahku terhenti. Aku terduduk.  Pandanganku tertuju pada foto kami bertiga yang masih tergantung apik di dinding ruang tamu bawah. 
 
Rindu.
Kata itu terucap lirih dari bibirku.
 
Mataku berkaca-kaca. Tiba-tiba kurasakan pipiku basah. Aku menangis. Akhirnya air mata ini luruh juga. Sejak kekasihnya dipanggil pulang, kami hanya berdua. Padahal aku sudah berjanji tak akan pernah menangisi lagi kepergiannya. Namun, hari ini aku tak kuasa membendungnya. 
 
Hampir lebih dari satu dekade ini aku belajar banyak dari yang namanya kehilangan. Di dunia ini ia menjadi sesuatu hal yang mutlak. Ada yang datang dan pergi silih berganti. Memang tak ada pula yang harus kusesali. Nanti pun aku akan menyusul untuk kembali dan kami akan berkumpul lagi. 

Kuhapus air mataku cepat. Menguatkan diriku dengan memaksakan senyuman. Kamu harus kuat untuk menguatkannya. Ya, harus.
 
Kunaiki kembali anak tangga menuju kamarnya. Pintu masih terbuka. Lampu pun masih terang benderang. Kulihat ia masih memegang mainannya itu, tapi kali ini matanya terpejam. Rasanya ingin kulepaskan kacamatanya, kubaringkan ia dan kuselimuti agar tak kedinginan sepanjang malam. Lalu, kupeluk erat. Sekali saja. Namun, kuurungkan semua niatku itu. Aku tak mau ia tersentak kaget. 
 

Kututup pintunya perlahan. Aku kembali berbalik badan menuju ke kamar. Kuraih ponselku yang tergeletak di atas meja samping tempat tidur. Sebuah pesan singkat kukirimkan padanya. Tiga kata sakti yang tak mungkin berani kuucapkan secara lisan. Aku hanya berharap, tiga kata itu menjadi kata yang ia baca pertama kali di saat ia membuka matanya. Tiga kata yang menjadi doa. Tiga kata penguat. Tiga kata penyemangat. Tiga kata yang selalu menyadarkannya, bahwa aku akan selalu ada untuknya. Itu saja.

Judul Berjudul: Dialog Segitiga

Suatu hari kami bermain. Bermain-main dengan judul lagu. Yang kami tahu, judul lagu —ia tak mau kalah dengan deretan kata demi kata pada lirik. Ia bercerita. Ia mengawali. Dan ini adalah sebagian kisah dari judul-judul lagu D'masiv dan Noah/Peterpan (dua band fenomenal di seantero jagad perduniamusikan Indonesia) yang ingin bercerita. Tak ada alasan yang pasti mengapa dua band ini. Hanya kami yang tahu pasti. Mungkin saat itu yang sedang sering kami dengarkan lantunan lagu dari kedua band Indonesia tersebut. Atau mungkin memang... Ah, ya, sudahlah. Anggap saja kebetulan. Tak ada maksud-maksud tertentu. Toh, ini hanya permainan belaka. Main-main.

Part 1

A: Dan kamu ilfil. Katakan terus terang aku dan kamu tak sejalan lagi.
B: Aku percaya kamu, dan kamu tak pernah rela aku takluk. 
A: Jika engkau tak lagi sama, tak bisakah di belakangku?
B: Mohon ampun aku, ku jatuh cinta lagi. Aku dan kamu cinta sampai di sini.
A: Tak pernah rela lukaku di antara kalian.

Part 2

B: Semakin nyaman merindukanmu, apa salahku diantara kalian? 
C: Dan kamu naksir aku dan kamu menanti keajaiban.
B: Walau habis terang di balik awan aku menunggumu.
C: Tak bisakah mimpi yang sempurna semua tentang kita. Kita tertawa di balik awan.
B: Dia atau aku, jelaskan statusmu, beri kami yang terbaik.
C: Cobalah mengerti sahabat, separuh aku hidup untukmu, mati tanpamu.


Apa yang terbaca oleh kalian? 
Masih berusaha berbicara soal akhir di awal? Saya sih tidak. Takut.

Agustus 2014, 
Sifa dan teman yang tidak ingin disebutkan namanya. 

February 19, 2015

Jam Malam


Dibiarkan menyala, agar pelangi menikmatiku.