January 31, 2015

Kepada Kamu (yang Masih Tak Dapat Kusebutkan Namanya)

Kepada Kamu 
Di 
entah berantah 

Kamu bersembunyi. 
Di balik sunyi dan sepi menyelimuti. Meninggalkan aku yang terluka hati.
Perih tanpa merintih. 
Alam semesta mempertanyakan keberadaanmu. Aku hanya bisa terdiam lebih dari 1000 bahasa. Aku tak punya jawaban pasti, karena aku pun tak tahu pasti. Mengapa semua jadi serba tak pasti? 

Namun, aku harus menyakinkanmu, bahwa
terkadang alur cerita tak selalu harus memiliki akhir. Kita pun belum tentu pasti. Mengapa sudah membicarakan soal akhir yang tak pasti? 
Sanggup?

Membiarkan sesuatu menjadi tanda tanya itu kadang seru, kadang saru. Semua melontarkan tanya. Sibuk mencari kepastian. Biarkan. Kelabui mereka. Biarkan rasa penasaran itu membara. Kita cukup diam. Lalu, biarkan mereka membicarakan kita hingga kuping kita terbakar panas. Ada atau tak adanya jawaban itu pun mereka akan tetap bergunjing melampaui batas waktu, karena itu memang hobi mereka. Untuk hal ini, aku tahu pasti. 

Kini, yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita sendiri sudah tahu jawabannya? Apakah kita sudah siap dengan jawaban apapun itu? 
Kita pun masih meraba. Kita pun masih mencari. Tak usah hiraukan pada mereka. Ini 'kita' bukan 'mereka'. 
-
Kamu, bersabarlah.
Kita tunggu tanggal mainnya. 
Toh, ini hanya sekedar permainan rasa. Semua akan mendapatkan gilirannya. Mungkin kita sedang diuji. Entahlah ini bisa dibilang apa, sengsara ataukah bahagia. Yang pasti, kita harus tak bosan menanti. 

Saranku kepadamu, 
selami aku dari persembunyianmu. Cari tahu apa yang aku mau. Lebih dalam lagi. Lebih lagi. Lebih, lebih dan lebih. Begitu juga sebaliknya aku kepadamu. Sampai berjumpa di titik temu yang masih tak pasti! Buat ia menjadi pasti. Untuk kita.

Satu hal lagi,
percayakan saja semuanya kepadaku. Kau akan tetap aman di persembunyianmu. 

Salam, 

Aku
yang masih tak dapat menyebutkan namamu

January 30, 2015

Kepada Kamu (Yang Tak Dapat Kusebutkan Namanya)

Kepada Kamu
Di
Tempat

Kamu yang tak dapat kusebutkan namanya. Ya, kamu. Kamu yang sedang membaca tulisan ini diam-diam – aku tahu, tak perlu malu. Aku dapat melihatnya. Ada kerinduan yang tersirat – aku tahu, aku pun juga begitu.
Masih segar dalam ingatanku terakhir kali kita bertemu. Sore itu aku malu mengaku kelabu, karena aku tahu semua itu semu dan abu-abu. Entah ini kita sebut apa. Entah awalan ataukah akhiran dari kisah ini. Keduanya menjadi saru dan semakin tak menentu. Sesungguhnya semua memang masih terlalu samar. Kita saja yang terlalu tergesa-gesa menentukan arah baru.
Aku memutuskan untuk tidak memilih satu pun pilihan yang kau ajukan. Aku merasa, aku tak berhak memilih, karena ini tentang kita, bukan aku. Kau pun seharusnya memilih, tapi kau tak mau. Kau bilang ikut dengan apapun pilihanku.
Pada akhirnya aku beranjak pergi tanpa memilih. Berjarak – terkadang kita perlu itu. Jarak dapat menyadarkan kita tentang apa yang sesungguh kita cari, apa yang sesungguhnya kita inginkan dan siapa sesungguhnya kita. Entah sampai kapan. Aku tak membatasi waktu. Akhirnya aku kebablasan dan kau berlalu begitu saja. Silih berganti dengan benalu.
Kepada kamu yang sebenarnya tak dapat lagi kusebut namanya,
Aku rapuh. Sejak kau tak ada.  Namun, apa dayaku. Aku hanya dapat menopang dagu sambil menyesali semua yang seharusnya telah berlalu. Sejak aku beranjak, semua masih tetap semu.
Mau tak mau aku harus menanggung malu, ketika mereka mulai sibuk bertanya, ”mau sampai kapan?”
Jawabanku selalu sama, “ biar waktu yang menjawab”
Sesungguhnya aku pun tak memiliki jawaban yang pasti. Maka itu kulimpahkan pada sang waktu. Namun, waktu pun tak mau menunggu. Ia terus berlalu meninggalkanku. Sedangkan aku masih saja di sini – menunggu. Membatasi diri.
Sesungguhnya, aku lelah.

Bolehkah kita menyudahi permainan ini?
Kepada kamu yang tak ingin disebutkan namanya,
Tiba-tiba kau kembali, menyatukan serpihan-serpihan itu. Kau menyodoriku pilihan itu lagi. Aku tetap tak bisa memilih. Ini tentang kita. Bukan aku. Aku hanya dapat mengulur waktuku terus hingga entah kapan. Hingga kau lelah menunggu jawaban dariku. Sesungguhnya kita sudah tahu sama tahu apa yang ada di depan sana. Namun, kita masih saja menyangkal dalam diam. Aku pun tahu, aku di ambang batas itu.
Kepada kamu yang lagi-lagi tak ingin disebutkan namanya,
sesungguhnya bukan hanya kamu yang menanti jawaban itu. Ada seseorang di masa depan yang sudah lebih lama menanti. Aku masih saja tak peduli. Masih saja mengelabui waktu. Berkutat dengan tanya yang tak berujung pada jawab. Entah sampai kapan. Aku pun bingung.
Kepada kamu yang tak ingin lagi kusebut namanya di masa depan,

maaf, selalu membuatmu tak pasti.

January 12, 2015

Mencintai Sebab-Akibat

A: Gue sekolah tata boga dan nggak mau jadi chef. Tapi gue suka masak dan cinta makan juga.

B: Gue cinta makan juga. Makan untuk hidup.

A: Siapa sih yang nggak cinta makan. Cinta makan tapi nggak cinta jadi gemuk.

B: Sama kalau begitu.

A: Gue merasa jahat dan tidak adil. Harusnya kalo gue cinta makan, harus mencintai jadi gemuk juga.

B: Kenapa?

Blablablabla

A: Makan dan gemuk itu sebab akibat. Ya, kalo kita mencintai sebabnya kita juga harus mencintai akibatnya, dong. Itu yang namanya mencintai seutuhnya.

Alamak.

Hari keduabelas di tahun 2015 | Chatting with a Stranger: Makan untuk Hidup