December 5, 2015

Semesta saja meragu

Semesta berbisik, "tak perlu kau buktikan lagi hal yang sudah terbukti tak pasti. Apalagi yang kau cari?"

December 3, 2015

Perihal Rindu

Sebuah nomor baru muncul di layar ponselku. Biasanya telepon dari nomor asing tak pernah kuangkat. Namun, sepertinya kali ini kau beruntung. Berbulan-bulan tak ada kabar, tiba-tiba kau hadir kembali. 

Terdengar suara seseorang dari seberang menyebutkan nama kecilku. Aku langsung mengenali suaramu. Berlanjut bertanya kabar hingga perbincangan ngalur ngidul. 

"Kapan bisa bertemu?" Tanyamu di sela-sela perbincangan kita. "Aku rindu" katanya sambil setengah berbisik.

Aku terdiam sejenak. Menarik nafas.

"Untuk apa bertemu kalau akan semakin membuat rindu?" jawabku skeptis.

"Baiklah. Biarkan rindu akan selamanya rindu dan tidak punya kesempatan untuk melepas rindu"

Kudengar suara helaan nafasmu berat sekali. Kedengarannya sangat rindu.
 
"Jadi ini hanya sebatas rindu?" tanyaku lagi, meragukanmu. 

Tiba-tiba sambungan telepon terputus. Kau menghilang lagi. Ternyata hanya sebatas rindu dalam ucapan yang kau katakan pada sembarang orang. Aku mengerti sekarang, mengapa aku selalu ragu, karena kau pun tak pernah pasti.

Lama tak Berkata

Lama tak membaca buku, lupa cara menulis. Membisu. Terbungkam. Mari kembali beraksara. 


May 18, 2015

Si Pengingat & Si Pelupa yang saling mengingatkan dan melupakan

Ini kisah tentang Si Pengingat dan Si Pelupa yang saling mengingatkan dan melupakan. 

"Mengingat itu tak semudah melupakan." kata Si Pelupa.
"Ah, masa? Bukan sebaliknya?" tanya si Pengingat ragu.
"Mengingat lebih membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada melupakan."
"Kurasa itu hanya bagi orang-orang pelupa sepertimu."
"Jadi, bagimu lebih mudah melupakan daripada mengingat?"
"Tidak juga."
"Kau pengingat?"
"Aku pengingat waktumu."
"So, is the time up?"
"Not yet."

[interval sunyi]

"Mari beranjak, kita sudah terlalu lama di sini." kata Si Pelupa membuyarkan keheningan.

"Sebentar lagi. Biar kita nikmati sejenak sisa-sisa keindahan ini. Aku takut, kita tak akan pernah kembali ke sini lagi."

---

April 20, 2015

Dialog tentang Rasa #3

"Masakan ini terlalu asin"
"Iya, kukira pun begitu. Lidah kita sama"
"Lalu, mau kita bagaimanakan rasa ini?"
"Kita nikahkan yang memasaknya."



Ide yang bagus.

Dialog tentang Rasa #2

"Aku suka kamu"
"Aku juga suka kamu"
"Lalu, mau kita bagaimanakan perasaan ini?"
"Ya, dibiarkan saja"


Dialog tentang Rasa #1

"Aku suka sama kamu" ungkapnya.
"Yakin suka bukan rasa ingin memiliki?" 

Aku tak langsung percaya dengan rasanya, karena rasa-rasanya…. Ah, entahlah. Justru aku menaruh curiga padanya.

"Ya, aku suka dan ingin memiliki kamu. Apa tak boleh keduanya?"
"Itu serakah namanya"

"Apa tak boleh serakah?"

#sifadecrates

Aku berbohong.
Kamu berbohong.
Kita tak sadar, kalau kita adalah kebohongan itu.

*

Kebingunganmu adalah kebingunganku juga.
Kita adalah kebingungan itu sendiri.


**

Memangnya kamu siapa?

Aku kan kamu.
Kamu kan aku.

Kita adalah sama dengan itu.

=

February 22, 2015

Gengsi Bilang Cinta

Jam dinding menunjukkan pukul 01:20 dini hari. Pintu kamarnya masih terbuka. Kulihat ia sudah duduk di peraduannya, tapi tangannya masih tak mau diam. Masih saja berkutat dengan benang-benang pengusir sepi. 
 
Tak ingin mengganggunya, kuputuskan kembali turun ke kamarku. Namun, berbagai macam pikiran menghantui otakku. Baru tiga anak tangga, langkahku terhenti. Aku terduduk.  Pandanganku tertuju pada foto kami bertiga yang masih tergantung apik di dinding ruang tamu bawah. 
 
Rindu.
Kata itu terucap lirih dari bibirku.
 
Mataku berkaca-kaca. Tiba-tiba kurasakan pipiku basah. Aku menangis. Akhirnya air mata ini luruh juga. Sejak kekasihnya dipanggil pulang, kami hanya berdua. Padahal aku sudah berjanji tak akan pernah menangisi lagi kepergiannya. Namun, hari ini aku tak kuasa membendungnya. 
 
Hampir lebih dari satu dekade ini aku belajar banyak dari yang namanya kehilangan. Di dunia ini ia menjadi sesuatu hal yang mutlak. Ada yang datang dan pergi silih berganti. Memang tak ada pula yang harus kusesali. Nanti pun aku akan menyusul untuk kembali dan kami akan berkumpul lagi. 

Kuhapus air mataku cepat. Menguatkan diriku dengan memaksakan senyuman. Kamu harus kuat untuk menguatkannya. Ya, harus.
 
Kunaiki kembali anak tangga menuju kamarnya. Pintu masih terbuka. Lampu pun masih terang benderang. Kulihat ia masih memegang mainannya itu, tapi kali ini matanya terpejam. Rasanya ingin kulepaskan kacamatanya, kubaringkan ia dan kuselimuti agar tak kedinginan sepanjang malam. Lalu, kupeluk erat. Sekali saja. Namun, kuurungkan semua niatku itu. Aku tak mau ia tersentak kaget. 
 

Kututup pintunya perlahan. Aku kembali berbalik badan menuju ke kamar. Kuraih ponselku yang tergeletak di atas meja samping tempat tidur. Sebuah pesan singkat kukirimkan padanya. Tiga kata sakti yang tak mungkin berani kuucapkan secara lisan. Aku hanya berharap, tiga kata itu menjadi kata yang ia baca pertama kali di saat ia membuka matanya. Tiga kata yang menjadi doa. Tiga kata penguat. Tiga kata penyemangat. Tiga kata yang selalu menyadarkannya, bahwa aku akan selalu ada untuknya. Itu saja.

Judul Berjudul: Dialog Segitiga

Suatu hari kami bermain. Bermain-main dengan judul lagu. Yang kami tahu, judul lagu —ia tak mau kalah dengan deretan kata demi kata pada lirik. Ia bercerita. Ia mengawali. Dan ini adalah sebagian kisah dari judul-judul lagu D'masiv dan Noah/Peterpan (dua band fenomenal di seantero jagad perduniamusikan Indonesia) yang ingin bercerita. Tak ada alasan yang pasti mengapa dua band ini. Hanya kami yang tahu pasti. Mungkin saat itu yang sedang sering kami dengarkan lantunan lagu dari kedua band Indonesia tersebut. Atau mungkin memang... Ah, ya, sudahlah. Anggap saja kebetulan. Tak ada maksud-maksud tertentu. Toh, ini hanya permainan belaka. Main-main.

Part 1

A: Dan kamu ilfil. Katakan terus terang aku dan kamu tak sejalan lagi.
B: Aku percaya kamu, dan kamu tak pernah rela aku takluk. 
A: Jika engkau tak lagi sama, tak bisakah di belakangku?
B: Mohon ampun aku, ku jatuh cinta lagi. Aku dan kamu cinta sampai di sini.
A: Tak pernah rela lukaku di antara kalian.

Part 2

B: Semakin nyaman merindukanmu, apa salahku diantara kalian? 
C: Dan kamu naksir aku dan kamu menanti keajaiban.
B: Walau habis terang di balik awan aku menunggumu.
C: Tak bisakah mimpi yang sempurna semua tentang kita. Kita tertawa di balik awan.
B: Dia atau aku, jelaskan statusmu, beri kami yang terbaik.
C: Cobalah mengerti sahabat, separuh aku hidup untukmu, mati tanpamu.


Apa yang terbaca oleh kalian? 
Masih berusaha berbicara soal akhir di awal? Saya sih tidak. Takut.

Agustus 2014, 
Sifa dan teman yang tidak ingin disebutkan namanya. 

February 19, 2015

Jam Malam


Dibiarkan menyala, agar pelangi menikmatiku.

January 31, 2015

Kepada Kamu (yang Masih Tak Dapat Kusebutkan Namanya)

Kepada Kamu 
Di 
entah berantah 

Kamu bersembunyi. 
Di balik sunyi dan sepi menyelimuti. Meninggalkan aku yang terluka hati.
Perih tanpa merintih. 
Alam semesta mempertanyakan keberadaanmu. Aku hanya bisa terdiam lebih dari 1000 bahasa. Aku tak punya jawaban pasti, karena aku pun tak tahu pasti. Mengapa semua jadi serba tak pasti? 

Namun, aku harus menyakinkanmu, bahwa
terkadang alur cerita tak selalu harus memiliki akhir. Kita pun belum tentu pasti. Mengapa sudah membicarakan soal akhir yang tak pasti? 
Sanggup?

Membiarkan sesuatu menjadi tanda tanya itu kadang seru, kadang saru. Semua melontarkan tanya. Sibuk mencari kepastian. Biarkan. Kelabui mereka. Biarkan rasa penasaran itu membara. Kita cukup diam. Lalu, biarkan mereka membicarakan kita hingga kuping kita terbakar panas. Ada atau tak adanya jawaban itu pun mereka akan tetap bergunjing melampaui batas waktu, karena itu memang hobi mereka. Untuk hal ini, aku tahu pasti. 

Kini, yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita sendiri sudah tahu jawabannya? Apakah kita sudah siap dengan jawaban apapun itu? 
Kita pun masih meraba. Kita pun masih mencari. Tak usah hiraukan pada mereka. Ini 'kita' bukan 'mereka'. 
-
Kamu, bersabarlah.
Kita tunggu tanggal mainnya. 
Toh, ini hanya sekedar permainan rasa. Semua akan mendapatkan gilirannya. Mungkin kita sedang diuji. Entahlah ini bisa dibilang apa, sengsara ataukah bahagia. Yang pasti, kita harus tak bosan menanti. 

Saranku kepadamu, 
selami aku dari persembunyianmu. Cari tahu apa yang aku mau. Lebih dalam lagi. Lebih lagi. Lebih, lebih dan lebih. Begitu juga sebaliknya aku kepadamu. Sampai berjumpa di titik temu yang masih tak pasti! Buat ia menjadi pasti. Untuk kita.

Satu hal lagi,
percayakan saja semuanya kepadaku. Kau akan tetap aman di persembunyianmu. 

Salam, 

Aku
yang masih tak dapat menyebutkan namamu

January 30, 2015

Kepada Kamu (Yang Tak Dapat Kusebutkan Namanya)

Kepada Kamu
Di
Tempat

Kamu yang tak dapat kusebutkan namanya. Ya, kamu. Kamu yang sedang membaca tulisan ini diam-diam – aku tahu, tak perlu malu. Aku dapat melihatnya. Ada kerinduan yang tersirat – aku tahu, aku pun juga begitu.
Masih segar dalam ingatanku terakhir kali kita bertemu. Sore itu aku malu mengaku kelabu, karena aku tahu semua itu semu dan abu-abu. Entah ini kita sebut apa. Entah awalan ataukah akhiran dari kisah ini. Keduanya menjadi saru dan semakin tak menentu. Sesungguhnya semua memang masih terlalu samar. Kita saja yang terlalu tergesa-gesa menentukan arah baru.
Aku memutuskan untuk tidak memilih satu pun pilihan yang kau ajukan. Aku merasa, aku tak berhak memilih, karena ini tentang kita, bukan aku. Kau pun seharusnya memilih, tapi kau tak mau. Kau bilang ikut dengan apapun pilihanku.
Pada akhirnya aku beranjak pergi tanpa memilih. Berjarak – terkadang kita perlu itu. Jarak dapat menyadarkan kita tentang apa yang sesungguh kita cari, apa yang sesungguhnya kita inginkan dan siapa sesungguhnya kita. Entah sampai kapan. Aku tak membatasi waktu. Akhirnya aku kebablasan dan kau berlalu begitu saja. Silih berganti dengan benalu.
Kepada kamu yang sebenarnya tak dapat lagi kusebut namanya,
Aku rapuh. Sejak kau tak ada.  Namun, apa dayaku. Aku hanya dapat menopang dagu sambil menyesali semua yang seharusnya telah berlalu. Sejak aku beranjak, semua masih tetap semu.
Mau tak mau aku harus menanggung malu, ketika mereka mulai sibuk bertanya, ”mau sampai kapan?”
Jawabanku selalu sama, “ biar waktu yang menjawab”
Sesungguhnya aku pun tak memiliki jawaban yang pasti. Maka itu kulimpahkan pada sang waktu. Namun, waktu pun tak mau menunggu. Ia terus berlalu meninggalkanku. Sedangkan aku masih saja di sini – menunggu. Membatasi diri.
Sesungguhnya, aku lelah.

Bolehkah kita menyudahi permainan ini?
Kepada kamu yang tak ingin disebutkan namanya,
Tiba-tiba kau kembali, menyatukan serpihan-serpihan itu. Kau menyodoriku pilihan itu lagi. Aku tetap tak bisa memilih. Ini tentang kita. Bukan aku. Aku hanya dapat mengulur waktuku terus hingga entah kapan. Hingga kau lelah menunggu jawaban dariku. Sesungguhnya kita sudah tahu sama tahu apa yang ada di depan sana. Namun, kita masih saja menyangkal dalam diam. Aku pun tahu, aku di ambang batas itu.
Kepada kamu yang lagi-lagi tak ingin disebutkan namanya,
sesungguhnya bukan hanya kamu yang menanti jawaban itu. Ada seseorang di masa depan yang sudah lebih lama menanti. Aku masih saja tak peduli. Masih saja mengelabui waktu. Berkutat dengan tanya yang tak berujung pada jawab. Entah sampai kapan. Aku pun bingung.
Kepada kamu yang tak ingin lagi kusebut namanya di masa depan,

maaf, selalu membuatmu tak pasti.

January 12, 2015

Mencintai Sebab-Akibat

A: Gue sekolah tata boga dan nggak mau jadi chef. Tapi gue suka masak dan cinta makan juga.

B: Gue cinta makan juga. Makan untuk hidup.

A: Siapa sih yang nggak cinta makan. Cinta makan tapi nggak cinta jadi gemuk.

B: Sama kalau begitu.

A: Gue merasa jahat dan tidak adil. Harusnya kalo gue cinta makan, harus mencintai jadi gemuk juga.

B: Kenapa?

Blablablabla

A: Makan dan gemuk itu sebab akibat. Ya, kalo kita mencintai sebabnya kita juga harus mencintai akibatnya, dong. Itu yang namanya mencintai seutuhnya.

Alamak.

Hari keduabelas di tahun 2015 | Chatting with a Stranger: Makan untuk Hidup