January 4, 2011

Hari Kedua: Selamat Datang di Samosir

Selasa, 7 Oktober 2008.
"Saya menginap di Duma Sari. Sebuah penginapan yang langsung menghadap ke danau Toba. Halamannya adalah pantai danau Toba yang tenang dan tak berombak. Saya bisa langsung cuci kaki dan membasuh wajah dengan air tawar danau Toba di teras kamar. Curahan air terjun cinta (Love Waterfalls) juga menjadi pemandangan yang mampu membuat saya tertegun sejenak menikmati alam. Konon katanya air terjun itu merupakan tempat pembuktikan cinta bagi pasangan-pasangan muda. Jika keduanya tidak berkelahi hingga sampai ke lokasi air terjun, maka artinya mereka berjodoh. Hanya mitos. Tapi menurut saya ada benarnya juga. Kalau masih di perjalanan saja sudah bertengkar, bagaimana nanti rumah tangganya.
Hari kedua itu, saya sempat drop sakit. Mungkin karena cuaca yang tidak menentu, kadang panas terik, lalu tiba-tiba hujan. Tapi saya tetap semangat. Hari itu saya pergi ke Tomok, sebuah kecamatan yang masih satu kabupaten dengan kecamatan Tuk-Tuk, yaitu Simanindo. Arti dari Tomok itu sendiri adalah subur. Katanya para wanita batak itu subur-subur, “tomok-tomok”. Hal yang menarik perhatian saya adalah symbol 4 payudara yang berada di gerbang masuk sebuah pemakaman adat. Empat payudara ini menyimbolkan criteria dan sifat wanita batak yakni harus subur, suci hati, ramah tamah dan setia.
Hari itu saya mengunjungi pemakaman Raja-Raja Sidabutar. Masuk ke pemakaman, semua pengunjung diwajibkan untuk memakai kain ulos. Bagi pengunjung wanita menggunakan ulos sedum, sedang yang pria menggunakan ulos ragihotang. Perbedaannya ada pada warnanya, ulos sedum memiliki paduan warna yang meriah. Kewajiban menggunakan ulos ini dikarenakan pemakaman ini adalah tempat yang disakralkan.
KIsah yang paling terkenal di sini adalah Anting Malela, nama seorang wanita yang merupakan pacar dari Opung Ujung Barita Sidabutat. Mereka telah bertunangan selama 10 tahun, namun ketika diajak menikah, Anting Malela tiba-tiba menolak. Banyak yang mengatakan dia terkena ilmu hitam atau disebut sijunde. Dia dipelet seseorang karena rupanya yang menawan.
Selain itu, taukah kalian pepatah “Batak makan orang”? Itu ternyata hanya sebuah pepatah, sebenarnya kami para Batakers ini bukanlah seorang kanibal. Pepatah itu muncul dari masa lalu. Pada zaman dahulu kala orang-orang batak menganut prinsip siapa yang kuat dia pemenangnya. Wah, ini seperti teori Darwin yang melandasi ideology Hitler. Dulu setiap selesai berperang, panglima dari kubu lawan kepalanya dipenggal lalu darahnya dioleskan di makam raja-raja, sedang jantung dan hatinya dimakan oleh para raja-raja yg masih hidup. Selain itu hukuman pancung pun berlalu bagi para penjahat yang memiliki kekuatan gaib.
Saya menggunakan pakaian adat Batak Toba
Di Tomok, saya juga menyempatkan diri ke Museum Adat. Wah ini masih benar-benar rumah asli Batak. Saya sempat pula mencoba meenggunakan baju tradisional batak yang terbuat dari kain ulos. Yang menarik adalah kisah tentang Tunggal Pangaluam, sebuah tongkat sakti yang biasanya digunakan oleh raja-raja dari kerajaan Batak. Konon ukiran berbagai bentuk di tongkat terbut dikisahkan akibat karma dari seorang putra dari raja yang menghamili perempuan yang merupakan kembaran kandungnya. Lalu perempuan itu melarikan diri ke hutan. Lalu sang pria mencarinya dan menemukannya diatas sebuah pohon. Ketika tangan mereka berjabat tangan mereka menyatu dan menjadi kayu dengan bentuk ukiran seperti rupa mereka. Dukun dikerahkan untuk menghentikan kutukan atau karma tersebut, namun justru dukun-dukun itu terkena dan akhirnya ikut membeku menjadi kayu tersebut. Pada akhirnya semua makhluk atau benda yang mendekati kayu itu akan menempel dan menjadi ukiran di kayu tersebut.
Melanjutkan perjalanan, saya mengunjungi Patung Sigale-gale. Patung ini memiliki sebuah kisah yang menarik. Manggale nama asli dari Sigale-gale adalah anak semata wayang seorang raja, namun tiba-tiba meninggal dunia entah karena sakit atau karena peperangan. Raja mencari keseluruh penjuru negeri orang yang mirip dengan anaknya namun tidak ada. Raja akhirnya meninggal, ada 3 dukun yang membuat sebuah patung kayu dengan ukiran mirip Manggale dan memanggil roh Manggale. Dulu patung tersebut dapat menari sendiri dengan kekuatan gaib, namun sekarang ada seorang dalang yang memainkannya. Ketika saya disana ada ompung yang sudah pikun duduk disebelah saya, lalu dia mengajak saya menortor. Menortor adalah kata kerja dari menari tor tor yang diiringi irama musik batak. Saya pun diajaknya ikut menari disaksikan banyak orang.
Saya bersama Si Gale-Gale
Langit mendung membuat saya harus segera melanjutkan perjalanan ke Huta Sialagan, desa marga Sialagan. Di desa itu saya ditunjukkan tempat hukum pemancungan. Waw seram. Tapi itu dulu. Saya duduk di pinggir tempat musyawarah sebeum terdakwa dipancung. Diceritakan bahwa terdakwa sebelum dipancung tidak akan diberi makan selama seminggu. Namun karena mereka biasanya memiliki ilmu hitam/ kesaktian jadi mereka tetap hidup. Tour guide saya mempraktekkan kronologis pemancungan.
Kronologis pemancungan: pertama, dada terdakwa dibelek untuk mengeluarkan kekuatan mereka. Jika sudah diberi jeruk nipis. Aduh ngilunya. Lalu dibacakan alab-alab, buku mantra yang dibacakan oleh seorang dukun. Lalu baru dipenggal diatas batu, tapi tidak langsung dipotong kepalanya. Tapi di gorok pelan-pelan hingga darahnya menetes lalu di minum oleh raja dan permaisuri. Lalu baru dipenggal kepalanya. Setelah itu dijunjung tinggi-tinggi untuk ditunjukkan pada rakyat yang menyaksikan. Jantung dan hatinya dimakan raja dan permaisuri, selebihnya dibagi-bagi kerakyat. Kepala bekas pancungan itu di letakkan diatas atap. Lalu tulang dan kulitnya dibuang ke danau.
Di sana juga masih terdapat rumah-rumah adat yang masih dijaga keasliannya. Dahulu rumah pria dan wanita dipisahkan. Yang membedakan adalah bentuk tangganya, rumah para wanita tangganya lebih menjorok. Walau pun sudah menikah, mereka tetap tinggal terpisah. Kasian sekali bukan? Hubungan suami istri dilakukan hanya pada saat sudah petang.
Di rumah adat asli Batak terdapat dapur di tengah dan di atasnya terdapat tempat persembahan, dahulu masyarakat Batak masih menganut paham animism. Mereka dahulu memasak dengan menggunakan kendi yang terbuat dari tanah liat. Tempat sanitasi hanya dibuat sebuah lubang besar di lantai rumah, di sanalah penghuni rumah membuang hajatnya ketika malam hari. Konon baunya tidak ada lagi ketika paginya, karena sudah dimakan oleh Harbo Mini a.k.a babi, yang dipelihara di kolong rumah. Kalau Siang mereka masih bisa melakukannya di pinggir danau.
Namanya tempat wisata tentu banyak toko-toko souvenirnya. Sebenarnya di Tomok ada banyak toko souvenir, tapi saya tidak sempat berbelanja di sana. Sehingga baru di Sialagan ini saya belanja, walau lebih mahal harganya tentu. Saya membeli kalender batak mini. Kalender Batak berbeda dengan kalender masehi. Mereka tidak memiliki hari Minggu. Saya juga membeli ulos sedum, alat musik tradisonal Batak, hasapi dan seruling Batak, Sulam."

No comments:

Post a Comment