January 4, 2011

Lelah: 8 Oktober 2008

“Jaman-jamannya masa menggalau saya dan Galuh Anindita. Hari ini adalah hari terakhir penelitian – saya menyebut ini sebagai mini research. Hari ketiga ini saya sempat tumbang. Sempat ingin tidak meneruskan perjuangan, tapi mama selalu memberi dukungan. Jadi saya melanjutkan perjalanan. Kali ini sedikit melelahkan dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Hari yang sangat melelahkan. Bukan main.
Saya ke Huta Bolon Simanindo, sebuah desa wisata di ujung Tuk Tuk, untuk menyaksikan tarian tradisional Batak. Tarian yang dipertunjukkan adalah tarian untuk menghantar kematian/ pemakaman.
Kebanyakan yang datang ke sini adalah wisatawan mancanegara. Maka itu saya menyempatkan diri untuk mewawancarai beberapa bule. Salah satunya adalah seorang wanita paruh baya dari London yang ternyata bekerja di Kedutaan Belanda di Jakarta. Membawa temannya yang berasal dari New Zealand. Banyak bertanya seputaran apa yang membuat mereka jauh-jauh datang ke Samosir ini.
Di sana saya juga sempat bertemu dengan seorang wartawan koran local Tapanuli, Pak Saitan Sihombing. Dia merasa tertarik dengan penelitian saya, dan meminta saya untuk mengirimkan hasil penelitian kepadanya kelak.
Hari ini belum berakhir, perjalanan berlanjut ke Objek Wisata Batu Hobon di Sianjur Mula-Mula. Itu tempat asal muasal nenek moyang orang Batak. Batu Hobon adalah Makam dari Guru Tatae Bulan yang merupakan anak dari Si Raja Batak. Konon katanya Guru Tatea Bulan menghilang di atas batu tersebut dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaaannya. Disana hanya sebentar, lalu naik ke atas Bukit untuk melihat tempat patung-patung silsilah masyarakat batak. Dijelaskan panjang lebar oleh abang penjaga makam, tapi sayangnya dengan bahasa Indonesia yang kurang lancar. Jadi saya agak kurang menegrti bah. Terpaksa menggunakan penerjemah :D
Saya baru tahu dari abang-abang penjaga makam itu, katanya Nyi Roro Kidul itu ada hubungannya dengan Batak. Anak dari guru Tatebulan ada 10, lima perempuan dan lima laki-laki. Salah satu dari anak laki-lakinya yakni anak pertamanya yang bernama Raja Uti memiliki keukatan sakti yakni memiliki 7 rupa yang memang mencerminkan wajah para orang batak jaman sekarang. Untuk anak perempuannya ada dua orang yang sakti dan tidak berketurunan, yakni Biding laut dan Namboru Natimjo. Biding Laut itulah yang pergi merantau ke selatan, yang kini disebut ratu pantai selatan oleh orang jawa. Sedang Namboru Natimjo adalah penunggu Pulau Samosir.
Di atas sana dinginnya tak terelakkan. Walau sudah memakai baju hangat dan sangat tebal sekali pun, tetapi angin tetap bisa masuk menembus tulang. Rambut saya jadi tidak karuan ditiup angin yang benar-benar tidak menentu. Cerita berakhir di atas sana. Penelitian selesai, waktunya bermain. Danau Toba itu sangat memikat hati dan memiliki keunikan tersendiri. Danau ini terletak di atas bukit, tetapi di atas bukit terdapat bukit lagi. Lalu Danau ini pula memiliki dua danau lagi di Pulau Samosirnya. Saya semakin mengenal negeri saya. Berusaha untuk semakin mencintai dan memahami budaya sendiri. Untuk itu sudah sepatutnya saya turut melestarikan budaya Batak, kalau bukan saya siapa lagi.
Kesimpulan dari penelitian saya adalah terdegradasinya Kebudayaan Batak Toba adalah karena ketidakpeduliaan masyarakatnya terhadap budayanya sendiri. Mereka menyamakan budaya dan agama yang jelas-jelas berbeda. Ada sebagian masyarakat yang memandang kehadiran agama dapat memunahkan kebudayaan mereka. Memang benar karena pada zaman dahulu kala kepercayaan masyarakat Batak Toba adalah animism. Sehingga dengan kehadiran agama, sesajen atau pemujaan berhala pun ditiadakan.
Selain itu fakta yang saya dapatkan adalah pernikahan campuran dan perpindahan penduduk tidak terlalu berpengaruh pada dinamika kebudayaan Batak Toba. Hanya saja, misal orang Batak menikah dengan orang Jawa, maka bahasa ibu mereka akan tercampur dengan bahasa bawaan suaminya. Bahkan di pasar-pasar tradisonal di Samosir pun banyak yang mulai menggunakan bahasa Indonesia dan Jawa, akibat adanya akulturasi penduduk.”

No comments:

Post a Comment