Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi
Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata
Karena itu aku bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan diri tanpa sisa
-
Sebuah puisi berjudul Kata karya Subagio Sastrowardojo ini menjadi bahan perenungan di tiap memulai tahun. Ada kerinduan berkata-kata. Kerinduan untuk kembali bersembunyi di balik kata-kata hingga dibawa tenggelam lebih dalam lagi, lebih dalam lagi. Kami terlalu berjarak belakangan ini. Aku butuh kembali membaca, membaca dan membaca, lalu menuliskannya lagi.
Akhir-akhir ini aku selalu meragukan kata. Katanya, kata siapa dan berujung kata-kataan. Mungkin takut kata ternodai dosa. Takut kata berubah jadi harimau yang menyerang balik penulisnya. Mungkin takut kata menjadi doa. Takut yang dituliskan bukan yang diharap, tapi justru itu yang menjadi nyata. Kadang saking takutnya, menepis impian-impian yang mustahil, lalu menghapuskannya dan berakhir di tong sampah. Hilang. Terlalu banyak menerka-nerka.
Seperti kata Pram, sepandai-pandainya orang, tak akan ada artinya tanpa menulis —kira-kira begitu katanya. Ia akan hilang dan tak dikenal. Aku tak ingin hilang tertelan zaman yang semakin hari kata dibatasi lewat karakter. Kini 140 karakter, entah nanti jadi hanya 10 karakter. Jangan bungkam kami wahai teknologi. Itulah mengapa sepertinya ini bukan perihal wadah yang dibatasi, hanya saja aku yang terlalu sibuk mengetik kata-kata manis ini hanya tertuju pada seorang. Ah, tapi mungkin itu mengapa aku disayangi, karena kata Pram, lagi-lagi sok akrab, orang yang menulis lebih disayangi. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. Aku tak ingin terbuai.
Membaca dan menulis adalah sebuah ritual yang dapat membawaku kembali: menyelami sabda Tuhan, menelisik rasa ragu hingga bertemu pada jawab; menjadikan yang utopis menjadi semakin nyata, dari sebuah bisikan yang dialihbahasakan menjadi aksara; berbincang dengan alam raya tentang kegundahan soal negeri dan membagi solusi dengan para pengeluh; menyelamatkan impian-impian yang masih sebatas angan dan mewujudkannya; berkontemplasi sambil buang hajat hingga melahirkan ide-ide brilian.
Aku ingin kembali berkomitmen dengan kata, dengan rasa.
Aku kembali.
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata
Karena itu aku bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan diri tanpa sisa
-
Sebuah puisi berjudul Kata karya Subagio Sastrowardojo ini menjadi bahan perenungan di tiap memulai tahun. Ada kerinduan berkata-kata. Kerinduan untuk kembali bersembunyi di balik kata-kata hingga dibawa tenggelam lebih dalam lagi, lebih dalam lagi. Kami terlalu berjarak belakangan ini. Aku butuh kembali membaca, membaca dan membaca, lalu menuliskannya lagi.
Akhir-akhir ini aku selalu meragukan kata. Katanya, kata siapa dan berujung kata-kataan. Mungkin takut kata ternodai dosa. Takut kata berubah jadi harimau yang menyerang balik penulisnya. Mungkin takut kata menjadi doa. Takut yang dituliskan bukan yang diharap, tapi justru itu yang menjadi nyata. Kadang saking takutnya, menepis impian-impian yang mustahil, lalu menghapuskannya dan berakhir di tong sampah. Hilang. Terlalu banyak menerka-nerka.
Seperti kata Pram, sepandai-pandainya orang, tak akan ada artinya tanpa menulis —kira-kira begitu katanya. Ia akan hilang dan tak dikenal. Aku tak ingin hilang tertelan zaman yang semakin hari kata dibatasi lewat karakter. Kini 140 karakter, entah nanti jadi hanya 10 karakter. Jangan bungkam kami wahai teknologi. Itulah mengapa sepertinya ini bukan perihal wadah yang dibatasi, hanya saja aku yang terlalu sibuk mengetik kata-kata manis ini hanya tertuju pada seorang. Ah, tapi mungkin itu mengapa aku disayangi, karena kata Pram, lagi-lagi sok akrab, orang yang menulis lebih disayangi. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. Aku tak ingin terbuai.
Membaca dan menulis adalah sebuah ritual yang dapat membawaku kembali: menyelami sabda Tuhan, menelisik rasa ragu hingga bertemu pada jawab; menjadikan yang utopis menjadi semakin nyata, dari sebuah bisikan yang dialihbahasakan menjadi aksara; berbincang dengan alam raya tentang kegundahan soal negeri dan membagi solusi dengan para pengeluh; menyelamatkan impian-impian yang masih sebatas angan dan mewujudkannya; berkontemplasi sambil buang hajat hingga melahirkan ide-ide brilian.
Aku ingin kembali berkomitmen dengan kata, dengan rasa.
Aku kembali.
No comments:
Post a Comment