Saya baru tahu ternyata begini rasanya. Ketika 'awal' itu sudah ada di depan mata, saya justru takut untuk memulainya. Malu saya untuk mengingatnya, tapi kalau dipikir-pikir lucu juga.
Asumsi saya, itu hanyalah sindrome pra pernikahan. Namun, sepertinya justru saya, yang tidak bisa mengelakkannya. Dia datang tiba-tiba dan saya tidak sanggup pula untuk mengatakan tidak.
Entah kenapa pula dia beserta perasaan itu datang seminggu sebelum semuanya dimulai. Detik-detik dimana saya harus melepaskan masa-masa sendiri saya. Masa-masa dimana saya membutuhkan dia, tuan yang saya anggap sempurna (tadinya).
Dia datang sebagai pembanding. Dimana saya kembali galau tentang perasaan saya, tentang rasa cinta saya, tentang tuan sempurna. Saya mulai mempertanyakan apakah sudah benar pilihan yg telah jatuh diambang batas ini? Apakah benar dia pilihan yang tepat bagi saya? Atau pikiran gila, apakah saya boleh berselingkuh? Atau menjadi poliandri?
Mencoba untuk setia itu memang cukup sulit, namun saya sudah bukan masanya lagi menguji kesetiaan pasangan. Saya telah dinobatkan sebagai ratu kesetiaan, begitu pula dia. Sembilan tahun itu sudah cukup membuktikan bahwa saya dan dia adalah orang yang ditakdirkan untuk bersama.
Entahlah, saya rasa seperti itu. Sembilan tahun yang datar. Saling mengalah dan sibuk masing-masing. Tiba-tiba dia yang lain datang, membuat pikiran saya terombang-ambing kembali. Jantung saya setiap hari meletus ketika menerima sms-nya dan segera secepat mungkin ingin membalasnya. Sungguh masa-masa pendekatan yang sangat menggiurkan. Rasanya sudah lama tidak pernah sebahagia saat itu.
Hai tuan sempurna, saya rasa anda bukan tuan sempurnaku lagi. Dia lebih pandai merayu saya. Saya suka lelaki perayu. Saya suka dibodoh-bodohi. Bodohnya aku. Mungkin karena saya sudah merasa pintar.
Pada saat itu saya berpikir, 'Ini gila, saya jatuh cinta kembali!' Setelah sembilan tahun perasaan itu terkubur. Setelah sekian lama perasaan ini terikat pada orang yang sama. Tapi, saya tak mungkin berbagi? Tentu mereka pun tak menginginkan itu terjadi. Ayo, segera putuskan. Tapi saya mau keduanya…
Apa boleh?
Tuan sempurna itu memang impian saya. Tapi 'dia yang lain' ini berbeda dari lainnya.
Suatu ketika, akhirnya saya memberanikan diri bercerita pada teman saya.
Kata teman saya, " semua wanita yang ingin berselingkuh itu memang selalu berkata seperti itu"
Tapi, percayalah. Dia berbeda. Dia lebih muda dari saya.
"Apa iya berbeda? Kamu selingkuh dengan 'pop corn' itu yang berbeda"
Tidak. tidak bukan itu maksudku. Umur bukan masalah. Bukan begitu? Tapi dia suka dimanja, dan dia tahu cara memperlakukan saya.
"Memang, calon suamimu itu selama hampir satu dasawarsa ini tidak pernah memanjakanmu?"
Bukan. Bukan begitu.
"Orang selingkuh memang suka gelagapan"
Ayolah, c'mon. Saya datang kesini bukan untuk berdebat. Saya hanya ingin bercerita tentang perasaan yang aneh ini.
"…Iya perasaan untuk menduakan pasangan. Pemain yang bagus kamu"
Saya jatuh cinta lagi. Apakah itu tidak apa-apa?
"Itu apa-apa, karena anda sebentar lagi menjadi mempelai. Ingat itu"
Lalu, teman baik saya itu meninggalkan saya sendiri kembali dalam kebingungan ini.Tuhan apa yg terjadi. Saya sama dengan manusia lainnya, rakus dan egois. Apakah boleh seperti ini?
Dan Tuhan tentu menjawab 'Tidak'
Lalu saya jadi tidak percaya Tuhan dan meninggalkannya. Namun, akhirnya justru mereka berdua juga meninggalkan saya. Jadi sebenarnya cinta itu terlalu berfilosofis dan saya terlalu mengagung-agungkan cinta. Berlebihankah?