Kepada Kamu
Di
Tempat
Kamu yang tak dapat kusebutkan namanya. Ya, kamu. Kamu yang sedang membaca tulisan ini diam-diam – aku tahu, tak perlu malu. Aku dapat melihatnya. Ada kerinduan yang tersirat – aku tahu, aku pun juga begitu.
Masih segar dalam ingatanku terakhir kali kita bertemu. Sore itu aku malu mengaku kelabu, karena aku tahu semua itu semu dan abu-abu. Entah ini kita sebut apa. Entah awalan ataukah akhiran dari kisah ini. Keduanya menjadi saru dan semakin tak menentu. Sesungguhnya semua memang masih terlalu samar. Kita saja yang terlalu tergesa-gesa menentukan arah baru.
Aku memutuskan untuk tidak memilih satu pun pilihan yang kau ajukan. Aku merasa, aku tak berhak memilih, karena ini tentang kita, bukan aku. Kau pun seharusnya memilih, tapi kau tak mau. Kau bilang ikut dengan apapun pilihanku.
Pada akhirnya aku beranjak pergi tanpa memilih. Berjarak – terkadang kita perlu itu. Jarak dapat menyadarkan kita tentang apa yang sesungguh kita cari, apa yang sesungguhnya kita inginkan dan siapa sesungguhnya kita. Entah sampai kapan. Aku tak membatasi waktu. Akhirnya aku kebablasan dan kau berlalu begitu saja. Silih berganti dengan benalu.
—
Kepada kamu yang sebenarnya tak dapat lagi kusebut namanya,
Aku rapuh. Sejak kau tak ada. Namun, apa dayaku. Aku hanya dapat menopang dagu sambil menyesali semua yang seharusnya telah berlalu. Sejak aku beranjak, semua masih tetap semu.
Mau tak mau aku harus menanggung malu, ketika mereka mulai sibuk bertanya, ”mau sampai kapan?”
Jawabanku selalu sama, “ biar waktu yang menjawab”
Sesungguhnya aku pun tak memiliki jawaban yang pasti. Maka itu kulimpahkan pada sang waktu. Namun, waktu pun tak mau menunggu. Ia terus berlalu meninggalkanku. Sedangkan aku masih saja di sini – menunggu. Membatasi diri.
Sesungguhnya, aku lelah.
Bolehkah kita menyudahi permainan ini?
—
Kepada kamu yang tak ingin disebutkan namanya,
Tiba-tiba kau kembali, menyatukan serpihan-serpihan itu. Kau menyodoriku pilihan itu lagi. Aku tetap tak bisa memilih. Ini tentang kita. Bukan aku. Aku hanya dapat mengulur waktuku terus hingga entah kapan. Hingga kau lelah menunggu jawaban dariku. Sesungguhnya kita sudah tahu sama tahu apa yang ada di depan sana. Namun, kita masih saja menyangkal dalam diam. Aku pun tahu, aku di ambang batas itu.
Kepada kamu yang lagi-lagi tak ingin disebutkan namanya,
sesungguhnya bukan hanya kamu yang menanti jawaban itu. Ada seseorang di masa depan yang sudah lebih lama menanti. Aku masih saja tak peduli. Masih saja mengelabui waktu. Berkutat dengan tanya yang tak berujung pada jawab. Entah sampai kapan. Aku pun bingung.
—
Kepada kamu yang tak ingin lagi kusebut namanya di masa depan,
maaf, selalu membuatmu tak pasti.
Suka banget sm postingannya. Surat cintamu yang pertama, aku rasa mendarat dengan mulus ;)
ReplyDeleteWaduh, kenapa dimasa depan ngga' ingin disebut lagi namaNya mbak Sifa.., kalau sebenarnya Dia selalu ingin disebut namanya oleh mbak Sifa gimana.. mungkin kalau sekarang belum bisa terlihat bersama secara fisik bisa dimungkinkan karena si Dia dan mbak Sifa juga masih terikat aturan dan atau tugas masing - masing yang harus dikerjakan untuk melengkapi kisah Dia dan mbak Sifa dimasa depan..
ReplyDeleteBaru mampir udah suka sama tulisannya :)
ReplyDeletewww.fikrimaulanaa.com