Negeri ini unik. Tak ada negara lain di dunia ini yang berideologikan sama
seperti Indonesia. Pancasila, begitulah ia disebut. Sang pengemban lima prinsip dasar
negeri ini. Ya, satu-satu di dunia dan kita patut bangga dengan itu. Namun,
apakah cukup dengan hanya sekedar bangga?
Setiap kali upacara bendera, secara berjamaah kita melafalkan Pancasila dengan lantang di bawah teriknya sinar matahari. Persis seperti burung beo, kita hanya menirukan apa yang diucapkan oleh tuannya. Seiring dibubarkannya barisan, bubar pulalah hafalan. Hal itu terjadi pula pada hari-hari peringatan Pancasila, hari kelahiran Pancasila (1 Juni) dan hari kesaktiannya (1 Oktober). Upacara peringatan itu acapkali dianggap sebagai seremonial yang hambar. Setelah kurang lebih 12 tahun kita melafalkan tiap butir Pancasila, agaknya muncul pertanyaan, sudahkah kita paham akan makna dari Pancasila itu sendiri? Apakah semua itu hanya dianggap sekedar formalitas belaka?
Belum lagi ditambah dengan
pelajaran kewarganegaraan. Pancasila disebut-sebut sepanjang kelas berlangsung
hingga di atas kertas ujian. Namun, selama 12 tahun itu, rasa-rasanya Pancasila
hanya sebuah kata tanpa makna. Kita hanya sekedar hafal, tak pernah berusaha untuk paham. Ia masih
berupa onggokan ideologi mentah yang tak terjamah secara langsung.
Lalu, apa itu pancasila? Di
mana keberadaannya sekarang? Pancasila tidak kemana-mana. Ia ada di mana-mana.
Ada di dalam pembukaan UUD, dalam pidato, dalam buku pelajaran, dan tergantung
dalam bungkus figura cantik di kantor-kantor publik. Namun dalam realita, ia
lebih banyak dikhianati tanpa rasa dosa[1].
Jadi, masih adakah Pancasila itu?
Yang kita tahu, Pancasila
merupakan pedoman utama kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat
Indonesia. Namun, Pancasila bukan hanya menjadi landasan kebangsaan dalam
artian sempit. Di sisi lain, ia juga menjadi identitas bangsa sekaligus perekat
keragaman agama, budaya dan etnis yang ada di negeri ini.
Pancasila membentuk identitas
bangsa yang tidak sekuler maupun totaliter. Kebebasan agama dijamin hingga
semangat gotong royong turut dipupuk dalam perbedaan. Ia menjadi titik temu
bagi perbedaan-perbedaan tersebut, karena memang ia dirumuskan dengan melihat
kenyataan bahwa Indonesia memiliki masyarakat yang majemuk.
Sudah sepatutnya kita
berterimakasih kepada para founding
fathers yang telah memilih jalan tengah ini. Hal ini dianggap sebagai bentuk
penolakan terhadap pilihan menjadi negara sekular atau negara agama dengan
menjatuhkan pilihan sebagai negara Pancasila. Toh, negeri ini tetap beragama
tanpa harus berlandaskan syariat agama tertentu.
Mengutip tulisan seorang
Ahmad Wahib, “Pancasila itu adalah pedoman bersama, bukan pedoman pribadi…Pancasila
dihubungkan dengan kehidupan pribadi oleh agama/ajaran. Pancasila ada karena
ada agama atau ajaran yang hidup pada pribadi-pribadi manusia
Indonesia. Dan bukan sebaliknya agama-agama atau ajaran-ajaran itu hidup
dalam pribadi-pribadi karena adanya Pancasila…. Pancasila adalah bendera
bersama[2]”
Pada zaman orde baru,
Pancasila sempat berubah fungsi dari sign
of unity (simbol persatuan) menjadi sign
of authority (simbol kekuasaan). Orang-orang terdahulu dicekoki Pancasila
dengan penafsiran yang seragam. Namun, kini ketika kita diberi kebebasan untuk
menginterpretasi, yang ada kita justru melenceng dari pakemnya. Kemana perginya
semangat-semangat persatuan yang tertuang dalam Pancasila itu? Harus diakui,
kita goyah.
Beberapa tahun belakangan ini
pula, kita banyak mendengar isu-isu tentang beberapa alternatif pengganti
Pancasila. Namun, apa urgensinya hingga ideologi negeri ini harus diganti? Hal
ini justru semakin menunjukkan Pancasila tak ada artinya selama ini. Ia dipaksa
lengser. Para oportunis itu justru berlomba-lomba menggolkan ideologi kelompoknya
masing-masing. Egois? Sudah barang tentu, tapi apa itu yang diajarkan oleh
Pancasila?
Menurut Gus Dur, dalam
tulisannya yang berjudul 'Negara Berideologi Satu Bukan Dua', saat ini terjadi
penyempitan pandangan mengenai Pancasila demi melanggengkan kekuasaan
kelompok-kelompok tertentu. Ideologi negara kita sampai saat ini ya cuma satu
dan sampai kapan pun akan tetap satu[3].
Sebenarnya sudah tak perlu lagi ada perdebatan mengenai Pancasila. Ia telah
lama diterima dengan penuh kesadaran sebagai dasar filosofi negara. Kini yang
menjadi Pekerjaan Rumah kita adalah menerjemahkan nilai-nilai luhur Pancasila
ke dalam kehidupan secara konkret. Bukan lagi memperdebatkannya secara teoritis.
Namun, pertanyaan selanjutnya
adalah apakah Pancasila masih relevan dengan zaman? Apakah ia masih sanggup
bertahan di tengah-tengah gempuran budaya global? Ataukah kita harus mundur dan
menutup diri dari dunia luar?
Di era globalisasi ini peran
Pancasila justru dibutuhkan untuk menjaga eksistensi identitas bangsa. Sebagai
dasar negara, Pancasila harus menjadi rujukan utama dalam menghadapi tantangan
global yang terus berkembang. Globalisasi banyak memberikan dampak yang positif
dalam memperluas wawasan pengetahuan dan mempererat hubungan antar bangsa. Kolaborasi
antar globalisasi dan nilai-nilai Pancasila justru akan memperkokoh kepercayaan
diri dan identitas bangsa kita di mata dunia.
Kita sebagai bagian dari
masyakarat global juga harus pintar dalam memilah nilai-nilai yang sesuai dengan Pancasila, karena tak semua budaya global itu cocok dengan kultur kita.
Globalisasi banyak juga membawa pengaruh negatif yang dapat merusak moral
bangsa dan eksistensi kita sebagai sebuah negeri yang menjunjung tinggi
nilai-nilai toleransi. Sejauh ini memang Pancasila-lah yang terbaik bagi negeri ini, karena ia ditakdirkan tercipta untuk aku, kamu dan Indonesia. Garuda Pancasila, akulah pendukungmu!
[1] Maarif, Ahmad Syafii, 3 April 2010, “Buruh
Serabutan dan Skandal Century” Kompas,
http://nasional.kompas.com/read/2010/04/03/03474875/Buruh.Serabutan.dan.Skandal.Century
[2] Wahib, Ahmad, “Pancasila: Pedoman
Bersama” dalam Buku Pergolakan Pemikiran
Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib.
[3] Wahid, Abdurrahman, 2005, “Negara
Berideologi Satu Bukan Dua” dalam Buku Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama
Masyarakat Negara Demokrasi
No comments:
Post a Comment