(fiksi belaka)
Pernahkan berpikir tentang sebuah pemikiran jika ternyata kita ini terkadang egois, rakus dan tidak mau kalah. Sifat bawaan manusia? Salah besar. Tuhan tidak pernah menciptakan kita dengan rancangan seperti itu. Jika diingat-ingat hal tersebut terlalu sering kita lakukan di sisi luar kesadaran kita. Namun hal itulah yang terjadi. Tidak mau peduli sekitar. Jangankan dengan orang lain atau bahkan lingkungan, dengan yang menciptkan saja masih suka tidak tahu diri.
Aku membayangkan jika aku seorang Tuhan, mungkin aku tengah menggerutu berkali-kali melihat tingkah laku makhluk ciptaannya yang tak tahu diri, "sudah mending diciptakan…" Disuruh bersyukur, malah justru mendengkur, makanya jadi tersungkur. Hati-hati dengan 'pembalasan' itu. Kadang akan lebih kejam dibanding dengan yang kita duga.
Ada satu cerita dimana seseorang tidak pernah puas, diduga inilah sifat asli si-yang-bernama-manusia-itu. Seorang teman yang memiliki teman lainnya, tak perlu disebut namanya, tapi dia tentu seseorang yang patut diperhitungkan karena dia sampai membuatku ingin bercerita tentangnya. Suatu kebiasaan para wanita memang bergunjing dimana-mana, tak terkecuali aku. Temannya teman ini ternyata seorang seorang wanita karir yang telah bersuamikan seorang pria mapan dan romantis. Tentu sangat berbeda jauh usianya denganku. Jika dibanding-bandingkan tentunya. Namun ini bukan soal usia. Bukan soal umur. Tapi kematangan. Kematangan dalam berpikir dan menanggapi sesuatu hal.
Namun, amat disayangkan dia sering mengeluh tentang kebisingan-kebisingan itu. Kebisingan yang ditimbulkan oleh suaminya itu. Kebisingan apa? Kebisingan menyebutkan kata cinta ternyata. Ada-ada saja. Bukankah itu suatu hal yang normal bagi sepasang suami istri. Bukankah itu sudah sepantasnya dan selayaknya dia dapatkan? kata-kata manis penuh ramuan cinta? Ada yang tidak beres.
Dia curhat pada temanku, dan temanku ini curhat padaku, katanya si yang curhat padanya itu selalu pusing setiap hari mendengar suaminya mengatakan cinta. Bahkan mengekspresikan cinta yang terlalu berlebihan. Tak perlu dideskripsikanlah. Cukup kalian berimajinasi saja, bagaimana ungkapan-uangkapan itu utarakan dan diekspresikan.
Yaaah, cukup imajinasi ini memiliki batasan limit sehingga kita kembali pada alur cerita sesungguhnya.
Oh, ternyata seorang lebah. Pria itu seorang lebah. Lebah yang menghasilkan madu. Dasar lelaki. Teman dari teman itu ternyata istri mudanya yang ketiga. Pantas saja dia suka obral cinta. Dia mengatakan cinta bukan hanya pada dia seorang, terang saja membuatnya jadi terbakar api asmara.
Hampir saja aku ingin iri padanya dengan kegerahan dan kebisingannya tentang kata-kata cinta suaminya itu. Untung saja aku belum sempat bunuh diri mendengar keluhan tentang suaminya itu karena aku dengki padanya. Orang yang seharusnya berada disebelahku ini …. Susah dijelaskan dengan kata-kata.
Orang yang seharusnya berada disebelahku ini lebih takut pada Tuhannya. Iya memang tuhannya tentu sama dengan tuhanku, dan tentu aku takut pula dengan Tuhanku. Tapi ini rasa ketakutan yang berbeda, yang bagiku itu bukanlah hal yang lumrah. Aneh.
Dia kata tidak mau egois,
Tidak mau serakah,
Tidak mau menjadi tamak,
Akibat cinta yang dia miliki. Cinta itu adalah aku. Dia ingin membagi cintanya dengan tuhannya. Artinya dia ingin membagiku denga tuhan yang menciptakan aku dan dia. Begitukah? Begitu kira-kira. Etwa.
Tidak ada yang salah.
Jika pernah suatu hari aku memberanikan diri untuk bertanya, " Kau benar cinta padaku?"
Dia membenarkan dengan hanya mengangguk. Dan aku pun kecewa dengan jawaban non verbalnya itu. Apa artinya, memang dia kira aku ini apa? Patung? Patung yang tak dihargai, begitu? Atau mungkin dia pikir aku ini paranormal yang bisa membaca pikirannya? Jadi dia tak perlu susah-susah mempekerjakan pita suaranya itu untuk mengatakan "aku cinta padamu", hanya cukup dalam hati sanubari saja dia membenamkan kata-kata itu, lalu aku dapat mengetahuinya sendiri. Enak saja. Aku perlu bukti.
Dan kali ini reaksinya pada pertanyaanku berbeda. Walau responnya datang sedikit lama, namun dia menjawab. Tadinya aku tak tertarik untuk menyimak perkataannya itu.
Dia kata , " Aku cinta kamu, apalagi yang harus kubuktikan padamu? tapi apa tuhan tidak akan marah jika Dia tahu aku mencintaimu melebihi cintanya padamu?"
Aku suka kata-kata itu. Kata-kata senjata yang selalu dia gunakan dikala aku sedang jenuh pada cinta-cintaan yang tidak karuan rasanya ini. Cinta-cintaan yang terkadang membludak dengan penuh rasa ingin memiliki, tetapi terhalang oleh sekat-sekat penghalang zaman.
Aku perlu bukti. Bukti yang banyak. Tak cukup satu. Tapi yang dia mau hanya satu. Yang dia tahu hanya satu. Kami saling mencintai dan itu tak dapat dipungkiri. Ingkaran manapun tak akan dapat mematahkan teori kami berdua, karena kami adalah simbol sama dengan. Kami adalah equivalen yang valid.
Akankah tuhan marah jika dia tahu, orang yang berada di sebelahku ini, lebih mencintaiku ketimbang cintaNya pad diriku? Jadi, apa maksudnya? Aku tak pernah mendapat jawaban dari pertanyaan jebakan itu yang membuatku harus rela menunda mendengar kata-kata cinta yang keluar dari mulutnya. Menunda segala ketergesaan agar aku dapat lebih lama menunggu saat itu tiba. Aku lebih suka menunggu lebih lama untuk mendengar kata-kata itu, dari pada harus kehilangan kata-kata itu selamanya.
Lalu,
Pantaskah aku marah dengan alasannya itu?
Dan semuanya selalu berakhir dengan mulut ini terkunci rapat-rapat. Diam.
(00:00 WIB 260909)
No comments:
Post a Comment