Waktu
berjalan cepat dan aku masih di sini. Duduk sendiri, di salah satu sudut
selasar gedung satu. Hari ini aku terlambat masuk kelas dan memutuskan untuk
bolos saja. Tanganku masih lincah memencet tombol-tombol abjad di keyboard laptop. Tetapi proses
sinkronisasi antara tangan dan otakku tak berjalan begitu lancar. Akibatnya
terlalu banyak ide-ide yang terhempas lepas dan waktu pun dengan seketika habis
tuntas. Sebenarnya itu yang sering terjadi padaku akhir-akhir ini.
Mungkin juga pengaruh terlalu banyak melamun, suasana hati yang tak menentu dan sebab-sebab lainnya. Tapi kali ini aku tak mau lamunan yang disalahkan. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika ini adalah salah cuaca. Jarang-jarang Depok sesejuk hari ini. Sampai membuat orang malas bergerak. Ternyata hujan tadi pagi memberikan dampak yang cukup signifikan. Depok di siang bolong jadi tidak semembara biasanya.
Pandanganku terlampau sering teralihkan dari layar laptop. Terlalu banyak distorsi. Positifnya, ternyata dunia nyata masih lebih menarik. Namun, negatifnya, makalah tak kunjung selesai. Alamakjang!
Terlempar jauh ke arah gedung dua, mataku sibuk memandangi manusia-manusia yang lalu lalang minta diperhatikan. Ada saja yang baru datang dan ada pula yang terburu-buru pergi. Meja satpam pun tak elak disambangi oleh beberapa perempuan korea yang menanyakan petunjuk arah. Dan tentunya tiga kursi kayu panjang di sana tak pernah sepi penghuni. Ada saja temu dan janji. Ya, ada banyak tipe manusia di fakultas ini. Ragam macamnya. Terlalu menarik untuk luput dari perhatian. Dan terlalu sulit untuk digambarkan satu demi satu dengan kata-kata.
Sesekali
kualihkan pandangan ke arah para penghuni payung-payung gedung satu. Mereka
larut dalam dunianya masing-masing. Sebenarnya masih ada perasaan dongkol,
karena lagi-lagi hari ini aku tak kebagian tempat di sana. Sehingga terpaksa
mengalah, ngemper di
selasar. Sebenarnya rasa dongkolku, lebih terarah pada para pasangan kekasih yang malah asyik bercumbu,
di kala orang kelimpungan mencari tempat untuk mengerjakan tugas. Ah, hanya
kamuflase. Bilang saja iri dengki, karena duduk seorang diri.
Kalau sudah jam segini, payung memang selalu penuh. Siapa cepat dia dapat. Mungkin itu slogan yang tepat. Semuanya ingin di payung, agar bisa berhotspotan ria tanpa halangan. Selain itu payung itu juga membuat ketagihan. Candu. Walau panas membara pun, mereka betah saja duduk di sana berlama-lama. Apalagi udara seperti hari ini, membuat para penghuninya tak ingin beranjak barang sedetik pun. M-A-G-E-R-C-O-Y.
Payung gedung satu adalah fenomena yang menarik untuk diamati. Berbagai macam jenis manusia tumpah jadi satu. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah raut wajah penuh tekanan akibat si garis mati. Terlebih pada masa Ujian Tengah Semester dan menjelang ujian akhir. Namun ada pula wajah-wajah penuh gelak tawa. Sedang mengerjakan tugas kelompok, katanya. Tapi yang terdengar justru senda gurau. Mungkin terlalu banyak fokus, jadi salah fokus. Duh.
Keberagaman juga terdengar dari bahasa-bahasa yang digunakan oleh para penghuni. Seperti bukan di Indonesia, semua berbahasa asing. Annyeonghaseyo. Es geht mir gut. Und du? Oggi sto proprio male.
Atau bahkan seperti kembali ke zaman kolonial dulu, waar komt u vandaan? Ik kom uit India. Ogenki desuka? Iie, watashi wa unzari desu. Tak heran. Rupanya sedang latihan untuk ujian lisan.
Selepas magrib nanti, payung pun tak jua akan sepi. Begitulah. Mungkin selasar merupakan tempat paling tepat untuk mengamati fenomena-fenomena ini. Cakrawalaku terbuka semakin lebar dan luas. Dan sebenarnya, selain payung, selasar pun menjadi tempat favoritku. Jadi tak terlalu menyesal juga, tak dapat tempat di payung.
Jam tanganku menunjukkan pukul empat. Bel pun berbunyi. Waktu kuliah selesai. Selasar mulai ramai dengan orang-orang yang membentuk kelompok-kelompok kecil. Kini aku tak sendirian. Ada yang sedang berdiskusi, menyicil pengerjaan dekorasi acara jurusan, rapat koordinasi, berlatih musikalisasi puisi sampai mengumandangkan doa berisi puji-pujian kepada Sang Maha Pencipta.
Ternyata banyak pula yang bernasib sama denganku. Beberapa orang yang tak mendapat tempat di payung, duduk di dekatku. Kami sama-sama bersandar pada dinding gedung, sambil menatap penuh harapan pada para penghuni payung, agar mereka segera beranjak. Tak tahu apa, kalau kami mengantre untuk duduk di payung. Ternyata kadang harapan itu masih ada. Hanya saja aku tak terlalu menyukai persaingan dan malas pindah tempat, sambil membawa seabrek-abrek barang bawaan. Jadilah saya di selasar sampai waktu pulang tiba.
Di antara orang-orang itu adalah lima perempuan bergerombol yang datang dari arah gedung dua. Setelah melihat tak ada bangku kosong di payung, mereka mengalihkan pandangannya pada selasar. Mau tak mau duduk di sampingku. Karena sisi lainnya sudah terisi penuh oleh orang lain dan barang-barang dekorasi yang cukup menyita tempat. Mereka duduk persis di samping kananku, membentuk lingkaran eksklusif, seolah-olah sengaja mengalienasi diriku yang sebatang kara. Tak apa. Aku mencoba kembali berkonsentrasi pada layar laptop.
Namun pikiranku kembali mengawang-awang tak tentu arah. Dan tersangkut pada pembicaraan perempuan-perempuan di sampingku ini. Dan ketika kulihat kamus yang tergeletak di dekat mereka berwarna kuning. Oh, ternyata maba saya. Sepertinya masih tingkat dua. Dengan mudah, tertebak sudah identitasnya.
"Kalian harus tahu, aku bertemu lagi dengannya. Aku sangat senang sekali. Ternyata kami setiap hari berada di gerbong yang sama. Seperti mimpi, kemarin dia duduk tepat di hadapanku dan mata kami saling beradu…" cerita salah satu dari mereka. Penasaran, kulihat raut wajahnya. Oh, wajah remaja yang sedang dimabuk cinta. Lucu ya. Kapan terakhir kali, wajah saya memerah bak kepiting rebus seperti itu ya. Rasa-rasanya aku sudah mati rasa.
Lalu mereka kembali berusaha berkonsentrasi, larut dalam diskusi tugas kelompok. Aku pun juga kembali larut dengan tugasku yang tak kunjung selesai ini. Sesekali terdengar keluhan mereka tentang tata bahasa, tentang dosen-dosen hingga tentang para senior yang merasa tak pernah salah.
Tiba-tiba datang seorang perempuan lagi ikut bergabung. Namun wajahnya agak sendu. Matanya sembab seperti habis menangis. Salah satu temannya bertanya ada apa dengannya. Dia menggeleng. Lalu yang lain ikut bertanya. Selang beberapa menit dalam kebisuan, akhirnya dia menjawab, "Kami berpisah, dia lebih memilih patuh pada agamanya. Aku pun juga begitu…"
Wajah kawan-kawannya tampak terkejut. Bahkan ada yang menunjukkan ekspresi wajah kaget yang berlebihan. Lagi-lagi terhalang batas. Sudah terlalu banyak kisah seperti ini yang kudengar. Jadi dalam situasi seperti ini siapa yang patut disalahkan? Tuhankah? Tak perlu. Lalu dengan berderai air mata, ia bercerita tentang perpisahan itu. Salah seorang dari mereka memeluknya sejenak sebagai wujud dari kepedulian dan kesetiakawanan. Aku tahu bagaimana rasanya pelukan itu, karena aku pernah berada dalam dekapan yang kurang lebih sama.
Kisahnya mengingatkanku akan kisahku. Kisah aku, dia dan dia lainnya. Tentang Kami yang tak mampu beranjak. Kami yang belum mengerti arti kedewasaan. Kami yang mengaku kalah. Kami pula yang tak sanggup melawan waktu. Dan pada akhirnya kami temukan ujung dari batasan itu. Kisah kami itu berakhir di waktu yang seharusnya. Seolah kami menyepakati kapan akhir itu berada. Padahal waktu itu kami pun masih meraba dan dalam proses saling menyepakati.
Dan kini ketika kembali akan memulai, aku memilih untuk menahan diri. Membiarkannya pergi, bukan karena tak ada cinta, tapi karena takut kembali mencintai dan kehilangan lagi. Selasar ini kembali menjadi saksi bisu kami.
Dan kini kembali terulang. Selasar mendengarnya. Terlalu banyak ratapan kepedihan dari perpisahan yang direkam oleh dinding-dinding yang tak bersalah ini. Yang lalu sebagian terbawa oleh tiupan angin dan didengar oleh orang-orang yang tak selayaknya mendengar. Ternyata tak hanya kisahku. Selasar menjadi saksi bisu kisah para penghuni lainnya. Kisah-kisah penuh repetisi dan paradoks, yang jika para benda-benda mati ini dapat berkomentar, mereka akan berkata, “hidup kalian sungguh membosankan. Itu lagi, itu lagi. Apa tak ada yang lain?”
ah Sifa. Indah sekali tulisanmu. Jadi rindu sama Indonesia :( dan jadi terbengkelai kerjaanku. lagi lesson planning neh.
ReplyDeleteIndah sekali kak :)
ReplyDelete