**Dibuat sebagai Laporan MK Kebudayaan Indonesia, Semester 4.
"Mengapa Dewa tidak menyelamatkan orang baik di Negeri ini?" – PPD, 2011
Pada Sabtu, 7-8 Mei 2011 yang lalu, Unit
Kegiatan Mahasiswa Teater UI mementaskan drama "Perempuan Pilihan Dewa" di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail
Marzuki, Jakarta Pusat. Drama ini oleh Alfian Siagian diadaptasi dari drama "Der gute Menschen von Sezuan" (The Good Person of Sezuan) karya Bertolt Brecht. Dia adalah pelopor teater Epik dari Jerman,
yang berseberangan dengan teater dramatis Aristoteles.
Drama ini mengisahkan tentang misi tiga Dewa yang
turun ke bumi mencari orang baik untuk mencegah terjadinya kiamat di dunia.
Mereka mendapat kabar bahwa sekarang susah sekali menemukan orang baik. Banyak
yang suka melawan dan tidak takut lagi kepada Dewa. Jika sudah tak ada orang
baik di dunia ini, tandanya dunia ini sudah sakit. Mereka selaku Dewa - Dewa
merasa perlu merubah atau bahkan mencabut kembali aturan - aturan yang telah
mereka buat untuk kebaikan manusia di dunia. Namun sebelum mereka mengambil
keputusan itu, mereka ingin membuktikan bahwa sebenarnya masih ada orang baik
itu di dunia.
"Dunia ini sudah sakit. Apakah kita harus mencabut kembali aturan - aturan yang telah kita buat di dunia ini?" – Dewa - Dewa
Sesampainya di bumi, para dewa bertemu pertama kali
dengan Wang, si Tukang Air, yang akhirnya mempertemukan mereka dengan perempuan
bernama Sente. Pada awalnya Wang dianggap orang baik oleh ketiga Dewa tersebut,
namun ternyata dia berbohong. Dia mengatakan bahwa Sente adalah wanita
baik-baik, padahal Sente adalah seorang pelacur. Ketika bertemu dengan Sente,
Dewa - Dewa tersebut merasa mereka telah menemukan orang baik di antara
berjuta-juta orang yang tidak baik.
Walau hanya seorang pelacur, dia adalah perempuan
muda yang baik hati. Namun hidupnya sangat terbatas, sehingga dia harus
melakukan pekerjaan yang dianggap hina oleh orang - orang di sekitarnya.
Akhirnya para Dewa memutuskan bahwa di dunia ini masih ada orang baik yakni
Sente. Melihat ketulusan hati Sente dalam menjalani hidup, para Dewa
memberikannya rezeki yang berlimpah. Dari rezeki itu, dia jadikan modal untuk
membuka toko sembako.
Namun kemalangan Sente tak berhenti di situ saja,
kerabat dan teman-temannya ketika dia masih gelandangan, memeras dan
memanfaatkan kebaikannya. Mereka berbondong-bondong mendatangi kios beserta
tempat tinggal Sente yang baru, memohon agar diizinkan tinggal bersamanya.
Sente juga dimanfaatkan oleh lelaki yang dia cintai, Sun. Kekasihnya ini hanya
mencintai uang Sente. Dia membutuhkan uang untuk meraih karirnya sebagai
seorang pilot.
"kata orang, ketika seseorang jatuh cinta, dia seperti berdiri di atas udara. Tapi beruntungnya saya berdiri di atas tanah" – Sente
Saking baiknya semua orang ingin dia tolong, tetapi
itu justru menyusahkan hidupnya sendiri. Sente sudah tidak tahan lagi dengan
keadaan ini. Akhirnya dia berbohong dengan berperan menjadi seorang lelaki
bernama Suta. Peran ganda fiktif ini sebenarnya terinspirasi dari
teman-temannya yang sering menyebut nama Suta sebagai sepupu laki-lakinya untuk
jaminan tempat tinggal mereka. Untuk menyelesaikan masalah, Sente akan berubah
menjadi Suta yang lebih pemberani dan tegas. Namun suatu hari peran Sente benar-benar
menghilang dan orang-orang di sekitarnya menyadari itu. Mereka menuduh Suta
telah membunuh Sente. Hingga Dewa pun ikut mengadilinya. Namun pada saat itu
Sente yang sedang berperan menjadi Suta, sedang dalam keadaan hamil. Sehingga
akhirnya dia mengaku pada Dewa - Dewa bahwa Suta adalah Sente.
Drama yang berdurasi 270 menit ini seolah-olah
mengajak penonton untuk menarik kesimpulannya sendiri. Penonton diposisikan
sebagai para Dewa. Jadi siapa yang salah jika orang baik sudah menjadi barang langka di dunia? Ajaran Dewa-dewa yang
harus diubah atau dunia ini yang telah berubah? Bukankah semuanya telah
berjalan sebagaimana mestinya? Pertanyaan-pertanyaan ini yang ada dalam kepala
para penonton selama pertunjukkan berlangsung. Ini adalah salah satu ciri dari
teater Epik. Para penonton diajak berpikir kritis terhadap apa yang ditonton.
Teater Epik ini termasuk
kesenian tradisional karena dulunya berkembang di kalangan pekerja pabrik pada
zaman industrialisasi di Eropa (barat). Brecht memberi
Jarak antara penonton dan panggung dengan efek alienasi. Penggunaan efek
alienasi ini dibuat, agar penonton dapat menilai secara kritis apa yang mereka
tonton. Oleh karena itu pementasan teater epik ini menghindari keterlibatan
emosional penontonnya. Tata panggung, tata busana dan riasnya pun dibuat
berbeda dengan dunia nyata, agar penonton tidak terhanyut dengan cerita yang
dipentaskan. Brecht membiarkan penonton menjadi pasif atau sebagai pengamat.
Lalu apakah hubungan antara teater epik dengan
perkembangan teater di Indonesia? Teater modern Indonesia merupakan pertemuan
dari berbagai gagasan. Hal ini cukup beralasan karena teater modern Indonesia
adalah teater kota yang menurut istilah Umar kayam merupakan teater yang unik
karena kedudukan dan fungsinya sebagai teater yang belum selesai. Teater
Indonesia tumbuh dalam masyarakat yang tengah digiring menuju budaya kota dan
industri. Di sisi lain, mereka para pendukung teater modern juga belum bisa sepenuhnya
meninggalkan akar budayanya yang bermuatan tradisional. Sehingga walau pun
sudah dikatakan teater modern, unsur tradisionalnya pun tetap ada.
Masuknya pengaruh Brecht
ke dalam dunia teater modern Indonesia berawal ketika Rendra bersama teater
bengkel mementaskan Lingkar Putih pada tahun 1975. Di tahun itu ide-ide teater
Epik Brecht mulai diperbincangkan para pekerja dan kritisi teater Indonesia.
Teater ini menjadi dianggap tidak asing dengan Teater
modern Indonesia, karena teori Brecht tentang teater banyak dipengaruhi oleh
teater Timur (Cina), yang lebih dulu masuk Indonesia. Namun pada dasarnya,
dalam teater modern Indonesia yang tak pernah memiliki tradisi realisme ala
Barat ini, tidak akan pernah bisa dibangun efek alienasi seperti yang
diinginkan Brecht. Teater tradisional Indonesia seperti ludruk atau wayang
memberikan jarak antar panggung dan penonton, namun hal tersebut tidak bisa
langsung dikategorikan sebagai teater epik yang memiliki efek alienasi.
Ini yang terlihat dalam drama „Perempuan Pilihan Dewa“. Walau mengadaptasi
drama dari barat, namun drama ini tetap tidak bisa secara utuh menggunakan efek
alienasi dari teater epik yang sesunggugnya, karena terkadang penonton pun
masih terbawa emosinya dalam alur cerita. Selain itu dalam teater ini pun
diselipkan ciri khas Indonesia. Misalnya tokoh Polisi menggunakan dialek orang
Batak atau tokoh Wang dan Tukang Kayu yang sering menggunakan celetukan bahasa
Jawa. Selain itu tata panggungnya pun mencerminkan daerah miskin di tengah permukiman
dengan keberadaan 3 rumah kumuh.
Secara kesuluruhan penggambaran dari teater ini
dapat mewakili kondisi yang terjadi di Indonesia. Menurut M. Asril Zalmi,
selaku PO Pementasan, Sente
merupakan sosok yang dapat dijadikan panutan dalam memperjuangkan hidup ini.
Masih ada orang baik di antara orang-orang yang dianggap atau dicap tidak baik.
Melihat kebaikan seseorang jangan dari masa lalunya. Semua orang pasti pernah
melalui masa-masa suram, seperti Sente yang dulunya pernah bekerja sebagai
pelacur. Namun jika dia bertobat dan berbuat baik, masa lalu dia yang kelam itu
dapat tertutupi. Ada baiknya pula, jika perbuatan baik harus terus
diperhatikan, agar terus terpelihara hingga akhir hayat.
Sumber:
Teori Teater Brecht oleh Ipit S. Dimyati
Catatan
Pribadi dari Mata Kuliah Kebudayaan Indonesia
dan Pengantar Sastra Jerman B
Pratama, Adi. Pentas Tunggal Teater UI, Perempuan Pilihan Dewa [online] http://suma.ui.ac.id/2011/05/08/pentas-tunggal-teater-ui-perempuan-pilihan-dewa-2/(diakses
pada tanggal 11 Mei 2011, pukul 22:00)
Catatan:
Paling
terngiang dari drama ini adalah celetukkan bahasa Jawa yang sering dikeluarkan
oleh tokoh tukang kayu, terutama kata „Asu“ (yang
berarti Anjing dalam bahasa Jawa). Sangat menghibur.
Adegan
paling mengesankan adalah ketika hanya ada Sente, Sun dan Pohon (yang sudah
mengering) – di awal pertemuan mereka. Belum adanya kebohongan. Polos dan
saling percaya. Sayang, tidak sempat diabadikan, karena dengan bodohnya, saya
meninggalkan memory card camera saya.
No comments:
Post a Comment