September 14, 2011

Perempuan Pilihan Dewa: Teater Epik ala Indonesia

**Dibuat sebagai Laporan MK Kebudayaan Indonesia, Semester 4.

"Mengapa Dewa tidak menyelamatkan orang baik di Negeri ini?" – PPD, 2011

Pada Sabtu, 7-8 Mei 2011 yang lalu, Unit Kegiatan Mahasiswa Teater UI mementaskan drama "Perempuan Pilihan Dewa" di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Drama ini oleh Alfian Siagian diadaptasi dari drama "Der gute Menschen von Sezuan" (The Good Person of Sezuan) karya Bertolt Brecht. Dia adalah pelopor teater Epik dari Jerman, yang berseberangan dengan teater dramatis Aristoteles.


Drama ini mengisahkan tentang misi tiga Dewa yang turun ke bumi mencari orang baik untuk mencegah terjadinya kiamat di dunia. Mereka mendapat kabar bahwa sekarang susah sekali menemukan orang baik. Banyak yang suka melawan dan tidak takut lagi kepada Dewa. Jika sudah tak ada orang baik di dunia ini, tandanya dunia ini sudah sakit. Mereka selaku Dewa - Dewa merasa perlu merubah atau bahkan mencabut kembali aturan - aturan yang telah mereka buat untuk kebaikan manusia di dunia. Namun sebelum mereka mengambil keputusan itu, mereka ingin membuktikan bahwa sebenarnya masih ada orang baik itu di dunia.

"Dunia ini sudah sakit. Apakah kita harus mencabut kembali aturan - aturan yang telah kita buat di dunia ini?" – Dewa - Dewa
Sesampainya di bumi, para dewa bertemu pertama kali dengan Wang, si Tukang Air, yang akhirnya mempertemukan mereka dengan perempuan bernama Sente. Pada awalnya Wang dianggap orang baik oleh ketiga Dewa tersebut, namun ternyata dia berbohong. Dia mengatakan bahwa Sente adalah wanita baik-baik, padahal Sente adalah seorang pelacur. Ketika bertemu dengan Sente, Dewa - Dewa tersebut merasa mereka telah menemukan orang baik di antara berjuta-juta orang yang tidak baik.

Walau hanya seorang pelacur, dia adalah perempuan muda yang baik hati. Namun hidupnya sangat terbatas, sehingga dia harus melakukan pekerjaan yang dianggap hina oleh orang - orang di sekitarnya. Akhirnya para Dewa memutuskan bahwa di dunia ini masih ada orang baik yakni Sente. Melihat ketulusan hati Sente dalam menjalani hidup, para Dewa memberikannya rezeki yang berlimpah. Dari rezeki itu, dia jadikan modal untuk membuka toko sembako.

Namun kemalangan Sente tak berhenti di situ saja, kerabat dan teman-temannya ketika dia masih gelandangan, memeras dan memanfaatkan kebaikannya. Mereka berbondong-bondong mendatangi kios beserta tempat tinggal Sente yang baru, memohon agar diizinkan tinggal bersamanya. Sente juga dimanfaatkan oleh lelaki yang dia cintai, Sun. Kekasihnya ini hanya mencintai uang Sente. Dia membutuhkan uang untuk meraih karirnya sebagai seorang pilot.

"kata orang, ketika seseorang jatuh cinta, dia seperti berdiri di atas udara. Tapi beruntungnya saya berdiri di atas tanah" – Sente

Saking baiknya semua orang ingin dia tolong, tetapi itu justru menyusahkan hidupnya sendiri. Sente sudah tidak tahan lagi dengan keadaan ini. Akhirnya dia berbohong dengan berperan menjadi seorang lelaki bernama Suta. Peran ganda fiktif ini sebenarnya terinspirasi dari teman-temannya yang sering menyebut nama Suta sebagai sepupu laki-lakinya untuk jaminan tempat tinggal mereka. Untuk menyelesaikan masalah, Sente akan berubah menjadi Suta yang lebih pemberani dan tegas. Namun suatu hari peran Sente benar-benar menghilang dan orang-orang di sekitarnya menyadari itu. Mereka menuduh Suta telah membunuh Sente. Hingga Dewa pun ikut mengadilinya. Namun pada saat itu Sente yang sedang berperan menjadi Suta, sedang dalam keadaan hamil. Sehingga akhirnya dia mengaku pada Dewa - Dewa bahwa Suta adalah Sente.

Drama yang berdurasi 270 menit ini seolah-olah mengajak penonton untuk menarik kesimpulannya sendiri. Penonton diposisikan sebagai para Dewa. Jadi siapa yang salah jika orang baik sudah menjadi barang langka di dunia? Ajaran Dewa-dewa yang harus diubah atau dunia ini yang telah berubah? Bukankah semuanya telah berjalan sebagaimana mestinya? Pertanyaan-pertanyaan ini yang ada dalam kepala para penonton selama pertunjukkan berlangsung. Ini adalah salah satu ciri dari teater Epik. Para penonton diajak berpikir kritis terhadap apa yang ditonton.




Teater Epik ini termasuk kesenian tradisional karena dulunya berkembang di kalangan pekerja pabrik pada zaman industrialisasi di Eropa (barat). Brecht memberi Jarak antara penonton dan panggung dengan efek alienasi. Penggunaan efek alienasi ini dibuat, agar penonton dapat menilai secara kritis apa yang mereka tonton. Oleh karena itu pementasan teater epik ini menghindari keterlibatan emosional penontonnya. Tata panggung, tata busana dan riasnya pun dibuat berbeda dengan dunia nyata, agar penonton tidak terhanyut dengan cerita yang dipentaskan. Brecht membiarkan penonton menjadi pasif atau sebagai pengamat.

Lalu apakah hubungan antara teater epik dengan perkembangan teater di Indonesia? Teater modern Indonesia merupakan pertemuan dari berbagai gagasan. Hal ini cukup beralasan karena teater modern Indonesia adalah teater kota yang menurut istilah Umar kayam merupakan teater yang unik karena kedudukan dan fungsinya sebagai teater yang belum selesai. Teater Indonesia tumbuh dalam masyarakat yang tengah digiring menuju budaya kota dan industri. Di sisi lain, mereka para pendukung teater modern juga belum bisa sepenuhnya meninggalkan akar budayanya yang bermuatan tradisional. Sehingga walau pun sudah dikatakan teater modern, unsur tradisionalnya pun tetap ada.

Masuknya pengaruh Brecht ke dalam dunia teater modern Indonesia berawal ketika Rendra bersama teater bengkel mementaskan Lingkar Putih pada tahun 1975. Di tahun itu ide-ide teater Epik Brecht mulai diperbincangkan para pekerja dan kritisi teater Indonesia. Teater ini menjadi dianggap tidak asing dengan Teater modern Indonesia, karena teori Brecht tentang teater banyak dipengaruhi oleh teater Timur (Cina), yang lebih dulu masuk Indonesia. Namun pada dasarnya, dalam teater modern Indonesia yang tak pernah memiliki tradisi realisme ala Barat ini, tidak akan pernah bisa dibangun efek alienasi seperti yang diinginkan Brecht. Teater tradisional Indonesia seperti ludruk atau wayang memberikan jarak antar panggung dan penonton, namun hal tersebut tidak bisa langsung dikategorikan sebagai teater epik yang memiliki efek alienasi.

Ini yang terlihat dalam drama Perempuan Pilihan Dewa“. Walau mengadaptasi drama dari barat, namun drama ini tetap tidak bisa secara utuh menggunakan efek alienasi dari teater epik yang sesunggugnya, karena terkadang penonton pun masih terbawa emosinya dalam alur cerita. Selain itu dalam teater ini pun diselipkan ciri khas Indonesia. Misalnya tokoh Polisi menggunakan dialek orang Batak atau tokoh Wang dan Tukang Kayu yang sering menggunakan celetukan bahasa Jawa. Selain itu tata panggungnya pun mencerminkan daerah miskin di tengah permukiman dengan keberadaan 3 rumah kumuh.

Secara kesuluruhan penggambaran dari teater ini dapat mewakili kondisi yang terjadi di Indonesia. Menurut M. Asril Zalmi, selaku PO Pementasan, Sente merupakan sosok yang dapat dijadikan panutan dalam memperjuangkan hidup ini. Masih ada orang baik di antara orang-orang yang dianggap atau dicap tidak baik. Melihat kebaikan seseorang jangan dari masa lalunya. Semua orang pasti pernah melalui masa-masa suram, seperti Sente yang dulunya pernah bekerja sebagai pelacur. Namun jika dia bertobat dan berbuat baik, masa lalu dia yang kelam itu dapat tertutupi. Ada baiknya pula, jika perbuatan baik harus terus diperhatikan, agar terus terpelihara hingga akhir hayat.

Sumber:
Teori Teater Brecht oleh Ipit S. Dimyati
Catatan Pribadi dari Mata Kuliah Kebudayaan Indonesia dan Pengantar Sastra Jerman B
Pratama, Adi. Pentas Tunggal Teater UI, Perempuan Pilihan Dewa [online] http://suma.ui.ac.id/2011/05/08/pentas-tunggal-teater-ui-perempuan-pilihan-dewa-2/(diakses pada tanggal 11 Mei 2011, pukul 22:00)


Catatan:
Paling terngiang dari drama ini adalah celetukkan bahasa Jawa yang sering dikeluarkan oleh tokoh tukang kayu, terutama kata „Asu“ (yang berarti Anjing dalam bahasa Jawa). Sangat menghibur.

Adegan paling mengesankan adalah ketika hanya ada Sente, Sun dan Pohon (yang sudah mengering) – di awal pertemuan mereka. Belum adanya kebohongan. Polos dan saling percaya. Sayang, tidak sempat diabadikan, karena dengan bodohnya, saya meninggalkan memory card camera saya.

No comments:

Post a Comment