Perkenalkan, aku adalah arwah Lalapita. Aku mati tenggelam di air kobokan. Saat itu sedang jam makan siang. Aku dan beberapa kawan sedang hilir mudik di sebuah restoran Padang yang sangat sederhana. Sedang terbang bermanuver tiba-tiba aku oleng, alhasil aku terjun bebas ke sebuah mangkok berisi kobokan milik seorang remaja laki-laki bertubuh gemuk.
Video di atas adalah dokumentasi pribadi milik orang yang membunuhku itu. Ia mengupload video pembunuhan sadis ini di akun pribadinya tanpa rasa bersalah dan menjadikannya bahan lelucon. Aku yang berusaha berenang ketepian dengan bantuan daun bawang, diciduk dengan sendok si pembunuh, lalu ia remat badanku dengan punggung sendok itu hingga tubuhku remuk tak terbentuk. Usus dan seluruh isi tubuhku berceceran di atas piring bekas santap ayam pop. Sesungguhnya masih ada kelanjutan dari aksi pembunuhan sadis ini. Namun, kuedit demi kode etik keprilalatan. Video ini direpost dan mendapat kecaman dari banyak pihak, terutama dari kaumku dan para pecinta binatang sedunia.
Dua puluh tahun kemudian, aku dihidupkan kembali menjadi lalat penghisap darah mematikan. Di hari pertamaku hidup kembali, aku mencari pembunuhku. Aku ingin membalaskan dendamku. Akhirnya, aku bertemu dengannya kembali. Ia sudah beranjak menjadi lelaki paruh baya. Namun, raut wajahnya tak mungkin kulupakan. Tanpa basa-basi langsung kuhisap darahnya tak bersisa. Ia mati di tanganku. Seketika itu pula aku kembali mati. Setidaknya, dendamku terbalaskan. Arwahku kini tak penasaran lagi. Selamat tidur nyenyak di dalam keabadian!
February 18, 2019
Kerinduan Berkata
Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi
Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata
Karena itu aku bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan diri tanpa sisa
-
Sebuah puisi berjudul Kata karya Subagio Sastrowardojo ini menjadi bahan perenungan di tiap memulai tahun. Ada kerinduan berkata-kata. Kerinduan untuk kembali bersembunyi di balik kata-kata hingga dibawa tenggelam lebih dalam lagi, lebih dalam lagi. Kami terlalu berjarak belakangan ini. Aku butuh kembali membaca, membaca dan membaca, lalu menuliskannya lagi.
Akhir-akhir ini aku selalu meragukan kata. Katanya, kata siapa dan berujung kata-kataan. Mungkin takut kata ternodai dosa. Takut kata berubah jadi harimau yang menyerang balik penulisnya. Mungkin takut kata menjadi doa. Takut yang dituliskan bukan yang diharap, tapi justru itu yang menjadi nyata. Kadang saking takutnya, menepis impian-impian yang mustahil, lalu menghapuskannya dan berakhir di tong sampah. Hilang. Terlalu banyak menerka-nerka.
Seperti kata Pram, sepandai-pandainya orang, tak akan ada artinya tanpa menulis —kira-kira begitu katanya. Ia akan hilang dan tak dikenal. Aku tak ingin hilang tertelan zaman yang semakin hari kata dibatasi lewat karakter. Kini 140 karakter, entah nanti jadi hanya 10 karakter. Jangan bungkam kami wahai teknologi. Itulah mengapa sepertinya ini bukan perihal wadah yang dibatasi, hanya saja aku yang terlalu sibuk mengetik kata-kata manis ini hanya tertuju pada seorang. Ah, tapi mungkin itu mengapa aku disayangi, karena kata Pram, lagi-lagi sok akrab, orang yang menulis lebih disayangi. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. Aku tak ingin terbuai.
Membaca dan menulis adalah sebuah ritual yang dapat membawaku kembali: menyelami sabda Tuhan, menelisik rasa ragu hingga bertemu pada jawab; menjadikan yang utopis menjadi semakin nyata, dari sebuah bisikan yang dialihbahasakan menjadi aksara; berbincang dengan alam raya tentang kegundahan soal negeri dan membagi solusi dengan para pengeluh; menyelamatkan impian-impian yang masih sebatas angan dan mewujudkannya; berkontemplasi sambil buang hajat hingga melahirkan ide-ide brilian.
Aku ingin kembali berkomitmen dengan kata, dengan rasa.
Aku kembali.
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata
Karena itu aku bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan diri tanpa sisa
-
Sebuah puisi berjudul Kata karya Subagio Sastrowardojo ini menjadi bahan perenungan di tiap memulai tahun. Ada kerinduan berkata-kata. Kerinduan untuk kembali bersembunyi di balik kata-kata hingga dibawa tenggelam lebih dalam lagi, lebih dalam lagi. Kami terlalu berjarak belakangan ini. Aku butuh kembali membaca, membaca dan membaca, lalu menuliskannya lagi.
Akhir-akhir ini aku selalu meragukan kata. Katanya, kata siapa dan berujung kata-kataan. Mungkin takut kata ternodai dosa. Takut kata berubah jadi harimau yang menyerang balik penulisnya. Mungkin takut kata menjadi doa. Takut yang dituliskan bukan yang diharap, tapi justru itu yang menjadi nyata. Kadang saking takutnya, menepis impian-impian yang mustahil, lalu menghapuskannya dan berakhir di tong sampah. Hilang. Terlalu banyak menerka-nerka.
Seperti kata Pram, sepandai-pandainya orang, tak akan ada artinya tanpa menulis —kira-kira begitu katanya. Ia akan hilang dan tak dikenal. Aku tak ingin hilang tertelan zaman yang semakin hari kata dibatasi lewat karakter. Kini 140 karakter, entah nanti jadi hanya 10 karakter. Jangan bungkam kami wahai teknologi. Itulah mengapa sepertinya ini bukan perihal wadah yang dibatasi, hanya saja aku yang terlalu sibuk mengetik kata-kata manis ini hanya tertuju pada seorang. Ah, tapi mungkin itu mengapa aku disayangi, karena kata Pram, lagi-lagi sok akrab, orang yang menulis lebih disayangi. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. Aku tak ingin terbuai.
Membaca dan menulis adalah sebuah ritual yang dapat membawaku kembali: menyelami sabda Tuhan, menelisik rasa ragu hingga bertemu pada jawab; menjadikan yang utopis menjadi semakin nyata, dari sebuah bisikan yang dialihbahasakan menjadi aksara; berbincang dengan alam raya tentang kegundahan soal negeri dan membagi solusi dengan para pengeluh; menyelamatkan impian-impian yang masih sebatas angan dan mewujudkannya; berkontemplasi sambil buang hajat hingga melahirkan ide-ide brilian.
Aku ingin kembali berkomitmen dengan kata, dengan rasa.
Aku kembali.
February 13, 2019
Reminder Pagi Hari
Sekedar mengingatkan, bahwa kita tak punya banyak waktu. Pergunakan dengan sebaik mungkin. Selagi masih sempat. Selagi tak ada yang menyesal. Selagi masih bisa membagi kebahagiaan.
Ini pengingat untukmu yang sering lupa.
December 5, 2015
Semesta saja meragu
Semesta berbisik, "tak perlu kau buktikan lagi hal yang sudah terbukti tak pasti. Apalagi yang kau cari?"
December 3, 2015
Perihal Rindu
Sebuah nomor baru muncul di layar ponselku. Biasanya telepon dari nomor asing tak pernah kuangkat. Namun, sepertinya kali ini kau beruntung. Berbulan-bulan tak ada kabar, tiba-tiba kau hadir kembali.
Terdengar suara seseorang dari seberang menyebutkan nama kecilku. Aku langsung mengenali suaramu. Berlanjut bertanya kabar hingga perbincangan ngalur ngidul.
Aku terdiam sejenak. Menarik nafas.
"Untuk apa bertemu kalau akan semakin membuat rindu?" jawabku skeptis.
"Baiklah. Biarkan rindu akan selamanya rindu dan tidak punya kesempatan untuk melepas rindu"
Kudengar suara helaan nafasmu berat sekali. Kedengarannya sangat rindu.
"Jadi ini hanya sebatas rindu?" tanyaku lagi, meragukanmu.
Tiba-tiba sambungan telepon terputus. Kau menghilang lagi. Ternyata hanya sebatas rindu dalam ucapan yang kau katakan pada sembarang orang. Aku mengerti sekarang, mengapa aku selalu ragu, karena kau pun tak pernah pasti.
May 18, 2015
Si Pengingat & Si Pelupa yang saling mengingatkan dan melupakan
Ini kisah tentang Si Pengingat dan Si Pelupa yang saling mengingatkan dan melupakan.
"Mengingat itu tak semudah melupakan." kata Si Pelupa.
"Ah, masa? Bukan sebaliknya?" tanya si Pengingat ragu.
"Mengingat lebih membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada melupakan."
"Kurasa itu hanya bagi orang-orang pelupa sepertimu."
"Jadi, bagimu lebih mudah melupakan daripada mengingat?"
"Tidak juga."
"Kau pengingat?"
"Aku pengingat waktumu."
"So, is the time up?"
"Not yet."
[interval sunyi]
"Mari beranjak, kita sudah terlalu lama di sini." kata Si Pelupa membuyarkan keheningan.
"Sebentar lagi. Biar kita nikmati sejenak sisa-sisa keindahan ini. Aku takut, kita tak akan pernah kembali ke sini lagi."
---
Subscribe to:
Posts (Atom)